Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata, atau bisa juga dimaknai sebagai studi tentang sejarah suatu kata.
Umumnya dilakukan dengan menganalisis kesepadanan fonologis, gramatikal, dan leksikal dari bahasa yang kerabat atau dari periode historis dari satu bahasa, yang mana hal ini dikenal sebagai metode Linguistik Komparatif.
Dengan metode Linguistik Komparatif akar suatu kata dapat ditelusuri. Tak jarang hasilnya menunjukkan fakta bahwa suatu kata ternyata berasal dari gabungan dua kosakata. Ini diperlihatkan etimologi kata “bahtera”, yang selama ini agak khusus digunakan untuk menyebut bahtera Nuh.
Tweet
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bahtera bermakna: perahu; kapal. Dalam berbagai literatur dunia, kata ‘bahtera’ atau ‘ark’ (dalam bahasa Inggris), bisa dikatakan “secara khusus” digunakan untuk menyebut bahtera Nabi Nuh.
Karena kata ‘bahtera’ dapat diduga merupakan kosakata dari bahasa bangsa maritim, maka salah satu hal penting untuk menjadi pertimbangan adalah pengamatan bahwa leksikon atau kosakata tersebut mestilah memiliki ciri khas bahasa bangsa maritime atau bangsa pelaut.
Lalu, seperti apa ciri khas kosakata bahasa bangsa Maritim?
Ciri khas kosakata bahasa bangsa maritim adalah senantiasa menunjukkan suku kata yang berakhiran vokal. Hal ini sebagaimana yang diungkap John Inglis, seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877, bahwa ciri bahasa melayu adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal.
Dengan pertimbangan bahwa kata ‘bahtera’ berasal dari bahasa bangsa maritim, maka bentuk rekonstruksi kata bahtera mestinya menjadi: bahatera.
Dari bentuk ‘bahatera’, dua suku kata di depan, yaitu ba-ha, dapat diidentifikasi berasal dari kata ‘waka’, yang dalam bahasa Bugis kuno berarti ‘kapal’.
Hal ini dapat kita ketahui dengan menganalisa perubahan fonetis yang terjadi antara b dan w yang merupakan bagian dari kelompok fonetis labial (yaitu: m, b, p, w), yang mana dalam banyak kasus memang seringkali menunjukkan perubahan fonetis di antara mereka. Misalnya: Banua, panua, dan wanua.
Demikian pula fonetis h, dalam banyak kasus, dapat kita temukan saling bertukar dengan fonetis k dalam pelafalan, misalnya pada kata ‘hayal’ dengan kata ‘khayal’.
Ada pun kata ‘waka’ sebagai makna ‘perahu’ dalam bahasa Bugis kuno, dapat kita temukan dalam kamus bahasa Bugis – Belanda yang disusun oleh B. F. Matthes (1874) “Boegineesche – Hollandsch woordenboek …“. Dapat dilihat dalam capture berikut…

Dalam capture di atas dapat kita lihat kata wakka atau waka disebut Matthes sebagai sinonim untuk kata ‘lopi’ yang dalam bahasa Bugis juga berarti ‘perahu’.
Matthes juga mengatakan jika kata ‘wakka’ dapat ditemukan dalam kitab La Galigo (La-Gal) dengan bentuk ‘wakka-tanette’ atau ‘wakka-tana‘, yang menurut Matthes bermakna kapal yang sangat besar – mengingatkan pada punggung gunung (tanette) dan atau suatu negeri (tana).