Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong

Reading Time: 4 minutes

Ketinggian puncaknya yang mencapai 3478 mdpl, menjadikan gunung Latimojong sebagai daratan tertinggi di pulau Sulawesi.

Para pendaki mengenal puncaknya dengan nama “Rante Mario”. Sementara itu masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai “Batu Bolong” yang artinya “Batu Hitam”. Disebut demikian bisa jadi karena bebatuan di puncak Rante Mario yang sebagian besar kelihatan menghitam.

Makna nama Rante Mario sendiri adalah “Tanah Bahagia”. “Rante” dalam bahasa lokal (bahasa tae’) artinya: tanah lapang dan datar di ketinggian gunung ataupun bukit. Sementara “Mario” artinya: Senang / bahagia.

Letak gunung Latimojong tepat berada di lintasan garis bujur 120 derajat (jika mengacu  pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich yang memang sejajar dengan maroko dan di masa lalu akrab dengan sebutan “kerajaan barat”).



gunung latimojong terlihat tepat berada di garis bujur 120 derajat (Dokumen pribadi)

Anti meridiannya (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik).

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

Garis bujur pada peta bumi (Dokumen pribadi)

Dengan pertimbangan bahwa matahari terbit pada ujung timur muka bumi (di wilayah Tuvalu) tepat pada pukul 06:00, dan bahwa 1 jam = 15 derajat (180 derajat = 12 jam), Maka Matahari membutuhkan waktu 4 jam untuk bergerak ke arah barat dan terbit di wilayah gunung Latimojong yang berjarak 60 derajat ke arah barat dari Tuvalu.

Ketika terbit fajar di wilayah gunung Latimojong, di saat yang bersamaan di Tuvalu telah menunjukkan jam 10 pagi. Hitungan inilah yang menjadi alasan orang-orang di masa kuno menyebut wilayah Latimojong atau wilayah Nusantara secara luas sebagai “negeri pagi” atau “negeri sabah” (“sabah” dalam bahasa arab artinya “pagi”. Sabah memiliki keterkaitan bentuk dengan kata “subuh” dalam bahasa Indonesia).

Hari ini, sebutan toponim “sabah” yang dapat ditemukan di beberapa tempat di nusantara (seperti wonosobo di pulau Jawa, atau sabah di pulau kalimantan), menjadi dasar klaim sebagian orang bahwa nusantara adalah negeri sabah yang disebut dalam beberapa kitab suci sebagai negeri Ratu Balqis di masa Nabi Sulaiman.

Sementara itu di masa sekarang, di pulau Sulawesi tidak ditemukan lagi toponim Sabah.  Yang paling mendekati mungkin adalah toponim “Padang Sappa” yang berada di kabupaten Luwu.

Namun demikian, di pulau Sulawesi masih ada satu nama wilayah (toponim) yang sangat jelas bermakna “pagi”, yaitu: Makale. Dalam bahasa tae’ “makale” artinya “pagi”.

Makale saat ini merupakan nama ibukota kabupaten Tana Toraja. Sebagian kaki gunung Latimojong di bagian utara masuk dalam kawasan administrasi kabupaten Tana Toraja.

Jadi, asal usul nama “Makale” sesungguhnya berasal dari pemaknaan orang-orang di masa kuno bahwa wilayah tersebut adalah merupakan kawasan “negeri pagi”. Karena ketika matahari terbit di wilayah ini, di saat yang bersamaan, di ujung timur (tempat pertama kali matahari terbit) telah menunjukkan jam 10 pagi.

Jika dijabarkan dalam pemahaman arah jarum jam sebagai arah penunjuk mata angin, di mana jam 06:00 (pagi) mewakili arah timur, jam 12:00 (tengah hari) mewakili arah utara, jam 18:00 (petang) mewakiliki arah barat, dan jam 24:00 (tengah malam) mewakili arah selatan, maka jam 10:00 (pagi) dapat dikatakan mewakili arah timur laut. 

Arah jarum jam biasanya digunakan pula untuk menyebut arah mata angin. (Dokpri)

Sehingga dengan demikian, di masa kuno, selain disebut sebagai “negeri pagi”, wilayah Nusantara kadang juga disimbolisasikan dengan sebutan “negeri timur laut”. Hal ini telah saya bahas khusus dalam tulisan ini: Isanapura (Negeri Timur Laut), Sebutan Nusantara di Masa Kuno.