Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman: “Aku adalah waktu.” (diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah).
Adapun bunyi lengkap lafadz hadis qudsi tersebut, sebagai berikut: “Anak Adam telah menyakiti-Ku, dia berkata: ‘Wahai waktu yang sial !’ Maka janganlah kalian berkata: ‘Wahai waktu yang sial’ karena Aku adalah Ad-Dahr (waktu). Aku membolak-balikkan malam dan siang, maka apabila Aku menghendaki pasti Kucabut kedua-duanya.”
Oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, makna hadis ini dijelaskan sebagai berikut: “Mereka (para ulama) berkata bahwa hadits ini adalah ungkapan (bukan hakiki) karena dulu orang Arab suka mencela waktu ketika terjadi malapetaka dam musibah yang menimpa mereka, baik berupa kematian, pikun, kehilangan harta dan yang lainnya, lalu mereka berkata: “Wahai waktu yang sial!” atau kalimat lainnya yang mengandung celaan terhadap waktu. Maka berkatalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah waktu.”
Artinya janganlah kalian mencela pembuat kejadian karena apabila kalian mencela pembuat kejadian terkenalah celaan itu kepada Allah Ta’ala, karena Dialah Pembuat kejadian itu. Adapun Ad-Dahr itu sendiri maknanya adalah waktu (masa), dia tidak punya perbuatan bahkan dia adalah makhluk di antara makhluk-makhluk Allah Ta’ala. Dan makna “Sesungguhnya Allah adalah Ad-Dahr (waktu)” artinya pembuat dan pencipta peristiwa dan kejadian. Wallahu A’lam.” (Syarah Muslim 3/10)
Demikianlah, oleh sebagian besar ulama terdahulu, pemaknaan bunyi hadis qudsi ini diarahkan pada pemahaman bahwa “Allah adalah pembuat atau pencipta peristiwa atau kejadian yang berlaku di dalam waktu”.
Apakah pendapat ini dapat diterima sebagai sebuah kebenaran? saya pikir tidak.
Pada hari ini, informasi tentang alam semesta telah sangat berkembang pesat. Ini membuka ruang untuk proses telaah ulang pendapat dari para ulama (ilmuwan) terdahulu.
Waktu Menurut Pandangan Fisikawan
Newton mengatakan waktu itu absolut. Sementara Einstein mengatakan waktu tidak absolut tetapi relatif. Faktanya, pendapat Newton benar, begitu pula pendapat Einstein, juga benar.
Dengan bersandar pada bunyi pengakuan Allah dalam hadis Qudsi bahwa “Aku (Allah) adalah waktu” maka, pendapat Newton jelas benar, karena Allah memang Absolut.
Mengenai pendapat Einstein tentang waktu, itu benar, sebatas pada waktu yang dapat teramati oleh sains (waktu psikologis dan waktu kosmologis).
Jadi sebenarnya, pendapat Newton lebih bernilai esensi dibandingkan pendapat Einstein.
Menurut Newton, waktu absolut ada secara independen dari setiap pengamat dan berkembang dengan kecepatan yang konsisten di seluruh alam semesta. Berbeda dengan waktu relatif (yang disampaikan Einstein), Newton percaya bahwa waktu absolut tidak dapat dilihat dan hanya dapat dipahami secara matematis. Menurut Newton, manusia hanya mampu mempersepsikan waktu relatif, yaitu pengukuran terhadap benda-benda yang bergerak (seperti Bulan atau Matahari). Dari pergerakan ini, kita menyimpulkan perjalanan waktu.
Waktu Menurut Pandangan Filsuf
Aristoteles menyatakan: waktu telah ada sebelum alam semesta ada. Karena menurutnya, butuh waktu untuk proses terciptanya alam semesta. Ia juga menyatakan “waktu bersifat universal dan meliputi segala sesuatu.”
Dengan merujuk pada bunyi ayat qudsi di atas maka, pendapat Aristoteles benar. Karena Allah adalah waktu. Begitu pula alam semesta dan waktu relatif yang ada di dalamnya, juga adalah bagian dari diri Allah Yang Maha Besar.
Demikianlah, ketika kita menyelaraskan pendapat sains tentang waktu dan “Wahyu Ilahi” tentang waktu maka, sebenarnya terlihat jelas ada keselarasan.
Ketika kita menerima bunyi ayat-ayat suci yang menyatakan bahwa “Allah Maha Besar”, “Allah meliputi Segalanya”, “Allah adalah Waktu” dan memaknainya secara harfiah (TIDAK mencoba membangun pemahaman yang dirasa ideal padahal keliru) dan kemudian menyandingkannya dengan ilmu pengetahuan (sains) maka, kesatuan makna yang terbangun adalah bahwa: Waktu dan Alam Semesta beserta isinya adalah bagian dari Diri Allah. Allah adalah Benda (nyata) Yang Maha Besar, begitu sangat sangat besar sehingga mata dan pikiran kita yang terbatas tidak dapat melihat dan mengetahui seperti apa bentuknya.
Dalam narasi agama kita mendapatkan penjelasan bahwa Alam Semesta diciptakan Allah dari sebagian Nur-Nya. Dalam ilmu fisika, ketika kita bicara tentang cahaya (Nur), pada dasarnya yang kita bicarakan itu adalah radiasi elektromagnetik yang dari elektromagnetik itu dihasilkan atau terbentuk energi. Dari energi, atom pertama, sebagai partikel yang mendasari segala materi di Alam Semesta, terbentuk. Inilah narasi sederhana tentang penciptaan alam semesta yang terbangun dari perpaduan antara pengetahuan agama dan sains.
BERSAMBUNG (mau lari sore dulu gess)
[UPDATE: 5/10/2023]
Dari narasi sederhana yang saya sampaikan di atas, kita bisa lebih dalam mencermati bahwa keberadaan kita manusia ada dalam bagian proses tersebut. Atom yang membentuk diri kita juga berasal dan bagian dari atom-atom yang membentuk Alam Semesta.
Bahkan perasaan seperti rasa cinta adalah proses kimiawi yang, pada kenyataannya, juga merupakan susunan-susunan atom. Jadi, perasaan atau emosi pada dasarnya adalah produk dari materi. Sesederhana itu.
Karena emosi seperti marah, benci, senang dan bahagia adalah produk materi, dan bahwa sebagaimana di bagian atas telah saya sebutkan bahwa seluruh materi di Alam Semesta ini adalah bagian dari diri Allah maka, bisa dikatakan, emosi yang selama ini kita anggap sebagai bukan materi, pada dasarnya juga merupakan bagian dari diri Allah.
Jadi, apapun hal di dunia ini, baik itu yang materi maupun yang immaterial pada dasarnya bagian dari Allah.
Dia adalah gelap dan terang, Dia adalah baik dan buruk, Dia adalah segalanya.
Ayat Al Quran yang menyatakan: Waktu (Allah) Adalah Absolut
Surat Al Ikhlas ayat 2 yang berbunyi: Allāhuṣ-ṣamad (اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ) Selama ini, umumnya dimaknai sebagai “Allah tempat meminta segala sesuatu“, Pemaknaan seperti ini pula yang tersaji dalam terjemahan Al Quran oleh Departemen Agama.
Makna yang berbeda untuk frasa Allāhuṣ-ṣamad(u) kita temukan dalam Al Quran terjemahan bahasa Inggris, yakni: Allah the Eternal ( Allah Yang Abadi)/ the Absolute (Yang Mutlak).
Jadi, yang mana yang benar, terjemahan bahasa Indonesia atau terjemahan bahasa Inggris? yang benar adalah terjemahan bahasa Inggris.
Karena, jika menggunakan terjemahan bahasa Indonesia, “Allah tempat meminta segala sesuatu“, bunyi pemaknaan ini cenderung membahasakan tentang hubungan Allah dan Makhluk ciptaan-Nya (terutama manusia) padahal, surat Al Ikhlas sebenarnya adalah surat yang berbicara “KHUSUS” tentang Allah saja. (hal ini telah saya bahas khusus dalam artikel: Kesamaan Makna ‘As Samad’ (Asmaul Husna) Dengan Istilah ‘Samadhi’ Dalam Tradisi Hindu-Buddha.)
Jadi, surat Al-Ikhlas (surat ke-112) berbicara khusus tentang ALLAH, surat an-Nas (surat ke-114) berbicara tentang MANUSIA, sementara surat di antara keduanya yaitu surat Al Falaq (surat ke-113) adalah surat yang berbicara tentang makhluk jahat yang mengganggu hubungan ALLAH dengan MANUSIA.
Bagaimanakah semestinya hubungan antara ALLAH dengan Manusia? Insya Allah, akan saya bahasa dalam artikel berikutnya gess… Wassalam.