Dalam tulisan sebelumnya (Mengenal Lebih Dekat “Mesiah, Maitreya, dan Imam Mahdi“) telah saya jelaskan bahwa pada hari ini, kita mendapati kenyataan bahwa pemikiran dunia modern cenderung mengasimilasi tradisi Maitreya dengan Mesiah, dan juga dengan Al Mahdi.
Setidaknya, nama-nama itulah yang memang kita warisi sebagai ingatan dari masa lalu, tentang akan hadirnya tokoh suci, penerus para nabi sebelumnya, yang akan memulai era baru di masa mendatang.
Pembahasan saya mengenai koherensi (Kepaduan Makna) tekstual yang terdapat dalam literatur eskatologi yang membahas Maitreya (mewakili tradisi Buddha) dan Imam Mahdi (mewakili tradisi Islam) telah saya tuang dalam artikel lain berjudul: Menakar Kesiapan Imam Mahdi Memasuki Panggung Akhir Zaman.
Pemikiran modern yang mewacanakan kesamaan sosok penyelamat akhir zaman yang disebutkan dalam berbagai tradisi agama, merupakan terobosan yang baik. Data-data tersebut akan saling melengkapi dan memungkinkan kita mendapatkan gambaran yang lebih detail terkait sosok Sang Penyelamat akhir zaman.
Karakter telaah yang dimunculkan pun menjadi lebih logis dan realistis. Menghindarkan kita dari bentuk pemikiran abad-abad sebelumnya yang secara dominan berkarakter okultis.
Adapun mengenai adanya perbedaan pendapat (perbedaan narasi) dari beberapa golongan, sebenarnya, adalah hal yang sudah sejak lama terjadi. Misalnya, jika aliran Buddhis lainnya percaya bahwa Maitreya saat ini tinggal di Surga Tusita, maka, dalam Buddhisme Theravada dikatakan, kemunculan Maitreya tidak akan berbeda dengan kemunculan Buddha Gautama, yang terlahir sebagai manusia yang belum tercerahkan, berproses di awal hidupnya seperti manusia kebanyakan, hingga akhirnya tercerahkan.
Dalam tradisi Islam pun demikian. Imam Mahdi disebutkan sebagai sosok manusia biasa yang akan mendapatkan hidayahnya dalam semalam. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa ada kesamaan konsep sosok Al Mahdi dengan sosok Maitreya dari perspektif Buddhisme Theravada.
Hadist yang membahas hal ini, diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Al-Mahdi termasuk golongan kami, ahli bait, Allah memperbaikinya dalam semalam. (HR. Ahmad 655, Ibnu Majah 4223, dishahihkan Ahmad Syakir dan dinilai Hasan oleh al-Albani).
Terkait kalimat “Allah memperbaikinya dalam semalam“, beberapa ulama memberikan keterangan sebagai berikut:
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan: Artinya, Allah menerima taubatnya, memberikan taufiq dan ilham serta petunjuk untuknya, setelah sebelumnya dia tidak seperti itu. (an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim, 1/55).
Imam Ali al-Qori menerangkan: Allah memperbaikinya dalam semalam’ artinya Allah memperbaiki urusannya, mengangkat kemuliaannya dalam waktu semalam, dalam satu waktu di malam itu, di mana para tokoh masyarakat sepakat untuk membaiatnya sebagai khalifah. (Mirqah al-Mafatih)
Demikianlah, bentuk pemikiran yang lebih realistis ini akan dapat membantu kita dalam upaya lebih mengenali realita “figur penyelamat akhir zaman” yang sesungguhnya, sehingga pada gilirannya, kita dapat menakar seperti apa dinamika yang kemungkinan “Sang Penyelamat” hadapi dalam menjalani perannya.
Dapat dikatakan bahwa pembahasan ini merupakan langkah kritis mengantisipasi fakta yang kerap kita temukan dalam dunia literatur sejarah atau pun nubuatan, bahwa: “kenyataan atau kejadian sesungguhnya tidaklah sesimpel sebagaimana yang dinarasikan”. Terlebih, jika narasi itu sifatnya allegori atau perumpamaan.
Dapat dipahami, deskripsi yang berkembang selama ini tentang “Sang Penyelamat” bahwa, ia akan dilahirkan ke dunia dengan moralitas tertinggi dan kesalehan terdalam memang memiliki kepentingan khusus, yaitu sebagai indikasi bahwa kebajikan dan kesempurnaan yang luar biasa sudah hadir di dunia.
Sayangnya, pemahaman tersebut bukan saja tidak logis, tapi juga tanpa disadari dapat mengaburkan pemahaman tentang tahapan-tahapan proses yang dilalui “Sang Penyelamat” dari manusia biasa hingga mencapai titik pencerahan.
Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan, aspek sosok penyelamat di akhir zaman yang digali Alan Sponberg adalah hal yang menarik untuk dicermati. berikut ini kembali saya kutip beberapa poin penting yang ia sampaikan dalam buku “Maitreya, the Future Buddha“:
Kadang-kadang ia muncul seperti individu duniawi lainnya yang bertujuan mengabdi dan berkontemplasi, di sisi lain tampil sebagai pemimpin militan ekstrimis politik yang berusaha untuk membangun sebuah tatanan baru di masa sekarang ini.
Kita kadang-kadang melihatnya sebagai penerima pengakuan dosa dan kadang-kadang sebagai inspirator bagi para Scholar/scientist.
Mungkin tidak ada figur lain dalam jajaran Buddhis yang menggabungkan universalitas dan kemampuan beradaptasi dengan cara yang dilakukan Maitreya.
Penggambaran Alan Sponberg di atas dapat dimaknai bahwa Maitreya atau Imam Mahdi adalah seorang yang berkarakter “rebellious” (berjiwa pemberontak, dan kerap menghadirkan penolakan/ perlawanan terhadap suatu otoritas).
Saya pikir cukup masuk akal. Karena, ia memang diutus di tengah kehidupan dunia akhir zaman yg penuh kekacauan, terutama kezaliman dari pihak penguasa terhadap rakyat kecil.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Imam Mahdi awalnya adalah sosok berjiwa pemberontak yang kemudian mendapat hidayah (tercerahkan).
Hal ini sebenarnya senada pula dengan makna sebutannya dalam tradisi Hindu, “Kalki,” yang secara literal artinya: “melakukan semua hal” / “kotor, penuh dosa“, yang menurut Brockington tidak masuk akal dalam konteks ia sebagai avatara.
Alhamdulillah, tulisan di web ini sangat bagus, memberikan pemahaman dari sisi lain sehingga bisa manambah wawasan sy atas beberapa isu yg beredar. Terimakasih atas2 semoga trus mewarnai khazanah pemikiran