‘Tanah di bawah angin’, sebuah istilah untuk kawasan Asia Tenggara (Nusantara) pada masa lalu, yang sampai saat ini, walau pun banyak digunakan dalam literatur oleh para sarjana tetapi, pada dasarnya tidak diketahui pasti dari mana ungkapan ini muncul.
Prof. Anthony Reid sejarawan asal Selandia Baru misalnya, menggunakan istilah ini untuk bukunya; Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 1: Tanah di Bawah Angin.
Terkadang, agar mendapatkan kejelasan dari sesuatu yang membingungkan, kita butuh mencermati objek lain yang pada dasarnya terkait dan sepadan dengan hal membingungkan tersebut. Karena bisa jadi di objek itu akan kita temukan “puzle yang hilang” yang akan menjelaskan semuanya.
Terkait istilah ‘Tanah di bawah angin’ para sarjana umumnya beranggapan, narasi “Tanah di Bawah Angin” ini berkaitan erat dengan jalur pelayaran perdagangan dan pencarian rempah-rempah ke Nusantara pada masa lalu. Bahwa pada masa itu, pemahaman karakteristik atau pola angin yang berhembus di kawasan Asia Tenggara menjadi kunci bagi pelayaran perdagangan untuk datang dan pergi di Nusantara.
Saya pribadi melihat ada kemungkinan lain yang dapat menjelaskan maksud dari ungkapan ‘Tanah di Bawah Angin’ ini. Yaitu etimologi kata ‘wakka-tanette’ atau ‘wakka-tana’ yang ditemukan B. F. Matthes dalam naskah La Galigo (naskah Bugis kuno – naskah terpanjang di dunia yang ditetapkan UNESCO sebagai Memory of the World).
Dalam bukunya, “Boegineesche – Hollandsch woordenboek … “, Matthes mengatakan bahwa kata ‘wakka’ (kata bugis kuno yang artinya kapal) dapat ditemukan dalam kitab La Galigo (La-Gal) dengan bentuk ‘wakka-tanette’ atau ‘wakka-tana’, yang menurut Matthes bermakna kapal yang sangat besar – mengingatkan pada ‘punggung gunung’ (dalam bahasa bugis kuno disebut ‘tanette’) dan atau suatu negeri (tana).
Jadi, frase ‘wakka-tanette’ adalah ukuran kapal yang sangat besar – yang melihatnya akan mengingatkan orang pada punggung gunung (tanette).
Tapi yang menarik sebenarnya adalah frase ‘wakka-tana’ yang secara harfiah berarti “perahu negeri” (wakka= perahu; tana= negeri). Frase ini yang secara intuitif mengarahkan saya untuk melihat ulang makna dari istilah ‘Tanah di Bawah Angin’.
Ungkapan “Tanah Dibawa Angin” tampaknya timbul dari kesan yang diperlihatkan pelaut-pelaut dari nusantara yang membawa segala hal – yang umumnya dibutuhkan orang-orang yang bermukim di daratan – di atas kapal-kapal mereka.
Mereka tidak saja membawa bahan makanan tapi juga hewan ternak seperti ayam. Kehidupan orang laut yang demikian tentu menimbulkan kesan mendalam dan terasa unik dalam pandangan orang daratan.
Demikianlah, orang daratan melihat perahu-perahu pelaut Nusantara yang besar dan memuat segala kebutuhan layaknya kebutuhan orang yang bermukim di daratan, seperti negeri yang terbawa angin di lautan. Dengan kata lain, pelaut Nusantara pada masa kuno tampak seperti membawa kampung halamannya berlayar mengarungi lautan.
Etimologi Bahtera yang Identik dengan Wakka Tana (dan sejalan dengan istilah ‘Tanah Dibawa Angin’)
Dalam tulisan saya yang berjudul Asal Usul Kata “Bahtera” Menyimpan Gambaran Kapal Nuh yang Sesungguhnya saya telah mengungkap bahwa kata ‘bahtera’ berasal dari penggabungan dua kata; ‘baha’ dan ‘tera’.
Melalui tinjauan perubahan fonetis, kita dapat mengidentifikasi jika kata ‘baha’ terkait dengan kata ‘waka’ yang dalam bahasa Bugis kuno berarti “kapal”, Sementara itu, kata ‘tera’ dapat diduga terkait kata dalam bahasa Latin, yaitu terra yang berarti: bumi/ tanah/ negeri. Jadi, kata bahtera sesungguhnya juga berarti “perahu negeri”.
Kata ‘tera’ juga terlihat digunakan pada nama Sumatera. ‘Suma’ sebuah kata dalam sanskerta yang artinya: Air, ‘tera’ artinya: tanah. Jadi, Suma-tera artinya “tanah air”. Dari sinilah frase “tanah air” berasal, frase yang kita gunakan pada hari ini sebagai ungkapan untuk kampung halaman atau negeri asal.