Ada bukti yang menunjukkan bahwa telah ada Loji-Loji Mason yang berdiri di Skotlandia sejak awal abad ke-16 (Stevenson, David – 1988. The Origins of Freemasonry: Scotland’s Century 1590-1710).
Namun, secara formal, gerakan Freemasonry dianggap didirikan di Inggris pada tahun 1717 M dengan menggabungkan empat loji menjadi satu loji besar yang disebut Grand Lodge of England. Setelah itu, Freemasonry kemudian menyebar ke daratan Eropa, benua Amerika, dan Asia.
Di Belanda, Grand Lodge of Nederland didirikan pada tahun 1756 dan kemudian mempengaruhi Hindia Belanda (Indonesia saat ini).
Para Freemason aktif tersebar di seluruh Hindia Belanda sejak tahun 1762 sampai 1962. Loji pertama di Asia, “La Choisie”, didirikan di Batavia oleh Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher (1741–1783).
Pada tahun 1922, seorang Loji Agung Provinsi Belanda, di bawah Grand Orient of the Netherlands, di Weltevreden (Batavia) ditugaskan mengendalikan 20 loji di koloni ini. Empat belas di Jawa, tiga di Sumatra, dan sisanya di Makassar dan Salatiga.
Perkembangan dan pergerakan Freemasonry di Nusantara diduga kuat sejalan dengan agenda kolonial Belanda sejak zaman VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Catatan Freemasonry antara 1767-1917 menggambarkan tujuan utama Freemasonry di Indonesia dan dapat dilacak.

Tujuan Freemasonry tertuang dalam pamfletnya yang ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa (aksara Latin dan Jawa), dan Tionghoa ( “De Ster in het Oosten”, Weltevreden, “La Constante et Fidele”, Semarang, “De Vriendschap,” 1917 ) .
Pamflet secara besar-besaran mengundang penduduk asli untuk menjadi anggota. Grand Lodge of Nederland mencatat anggota Freemasonry pada masa keemasan Hindia Belanda telah mencapai 25 loji dengan 1.500 anggota ( Stevens, 2004).
Tujuan dan visi utama Freemasonry adalah untuk meningkatkan perilaku dan intelektualisme menggunakan ilmu kehidupan nyata. “De Ster in het Oosten”, Weltevreden, “La Constante et Fidele”, Semarang, “De Vriendschap,” (1917) mengusulkan enam prinsip yang mendasari Freemasonry, yaitu:
- Menghormati martabat manusia
- Memberikan hak kepada siapa saja yang akan mencari kesempurnaan hati nurani dengan cara mereka
- Menetapkan bahwa setiap orang harus menanggung sendiri tentang apa yang akan terjadi dalam perjalanannya
- Menyadari bahwa semua orang adalah sama
- Mengumumkan persaudaraan untuk semua orang
- Menetapkan bahwa setiap orang harus bekerja dengan sungguh-sungguh menuju bagian keselamatan bagi semua
Prinsip-prinsip ini diterjemahkan oleh sdr. Jl. Ng. Sosro Hadikoesoemo.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa tujuan Freemasonry untuk mencapai kemurnian dan kesempurnaan hati dapat mengarahkan perilaku dan kecerdasan manusia, membebaskan seseorang untuk mencari jalan spiritual tanpa terikat oleh aturan agama tertentu, dan memberikan kesetaraan antara kemanusiaan dan persaudaraan.
Menurut Kerr & Wright, Freemasonry mendasarkan persaudaraannya pada ikatan cinta, iman, dan amal, dan setiap anggota dapat berkomunikasi melalui berbagai ritual dan sistem yang rumit dengan mengelaborasi upacara dan sistem dalam bentuk tanda-tanda rahasia.
Tanda mengacu pada kata sandi tertentu, misalnya cara berjabat tangan. Sebagian besar ritual Freemasonry didasarkan pada ajaran moral dalam Perjanjian Lama yang diilustrasikan atau dilambangkan dengan alat yang digunakan oleh para tukang batu, yaitu mistar persegi dan kompas ( Kerr dan Wright, 2015 ).
Pada masa kolonial, Freemasonry secara khusus memilih priyayi sebagai elit pribumi dan merekrut mereka sebagai sasaran di Hindia Belanda. Apalagi pemerintah kolonial Belanda memilih priyayi sebagai mitra untuk melanjutkan pemerintahan.
Priyayi juga menjadi penghubung dan pelaksana kebijakan dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan Kerajaan Belanda ( Scherer, 1985 ). Konsep Gusti-Kawula menjelaskan dan memberikan analisis tentang hubungan antara masyarakat dengan priyayi dan Belanda.
Apalagi, konsep ini melambangkan hubungan yang seimbang antara raja di tengah dan para pengikutnya atau orang-orang di sekitarnya. Namun konsep yang berjalan selama berabad-abad ini kemudian berubah setelah kedatangan Belanda. Belanda membuat hubungan atasan dan bawahan, bukan melingkar. Oleh karena itu Belanda menjadi Gusti bagi orang Jawa ( Scherer, 1985 ).
Namun, kajian Scherer tidak membahas hubungan antara Freemasonry di era kolonial. Pada era ini, perkumpulan mendukung pendidikan dan evolusi pemikiran priyayi yang mengarah pada proses transformasi dan adopsi nilai-nilai dan pemikiran asing (Barat) ke dalam nilai-nilai tradisional Jawa. Sementara itu, kolonialisme membutuhkan transformasi ideologis sebagai bagian dari legitimasi kekuasaan Barat di Nusantara.