Dalam bukunya The Marlinspike Sailor (1956), Hervey Garrett Smith mengatakan, “tali mungkin merupakan produk paling luar biasa yang diketahui umat manusia”.
Tali dan simpul adalah blok bangunan peradaban. Mereka meliputi semua aspek dunia kita. Sulit untuk memikirkan aspek mana dalam budaya manusia yang tidak memanfaatkan kegunaan fungsi tali.
Tali telah membantu kita mengembangkan tempat berlindung (rumah), pakaian, pertanian, persenjataan, seni, matematika, dan bahkan hingga dunia kesehatan.
Tanpa tali, nenek moyang kita tidak dapat menjinakkan kuda dan ternak atau membajak tanah secara efisien untuk bercocok tanam.
Jika bukan karena tali, monumen batu besar dunia—Stonehenge, Piramida di Giza, moai Pulau Paskah—akan tetap telentang.
Karena itu, rasanya, ada benarnya ungkapan yang mengatakan: Tali jauh lebih penting daripada roda dalam jajaran penemuan umat manusia.
“Semua orang tahu tentang api dan roda, tetapi tali adalah salah satu alat yang paling penting dan benar-benar yang paling diabaikan,” kata Saskia Wolsak, ahli etnobotani di University of British Columbia yang baru-baru ini memulai gelar PhD dalam sejarah budaya tali. “Ini relatif tidak terlihat sampai Anda mulai mencarinya. Kemudian Anda melihatnya di mana-mana.”
Namun, dari bangsa manakah tali pertama kali dikenal? Pertanyaan ini belum ada jawaban pasti, tapi para sejarawan umumnya menganggap Mesir kuno sangat mungkin adalah bangsa yang pertama kali memperkenalkan penggunaan tali.
Asumsi ini tampaknya merujuk pada penemuan Kathryn Bard dan timnya pada tahun 2004, 20 gulungan tali papirus tebal, tersusun rapi dan terawetkan dengan sangat indah sehingga tampaknya seorang pelaut bisa datang dan mengambilnya kapan saja. “Itu adalah pemandangan yang membeku dalam waktu,” kata Bard. “Mereka tidak terganggu selama hampir 4.000 tahun.”

Terdapat pula relief-relief yang tersaji di dinding makam Mesir kuno (dari sekitar 2500 SM) yang memperlihatkan gambar proses pembuatan tali serta bahan-bahan yang digunakan.
Pada dinding makam Kaemnofret, terdapat gambar proses penyortiran bahan baku dan proses merangkai ijuk yang dilakukan oleh dua lelaki yang duduk saling berhadapan. Hasilnya diperlihatkan di makam Ptahhotep dan Khaemwaset, di mana tumpukan ijuk yang rapi menunggu perhatian pembuat tali.
Relief di makam Mesir kuno memang merupakan fakta kuat bagi asumsi yang dikemukakan para ahli bahwa bangsa Mesir kuno lah yang pertama kali memperkenalkan budaya penggunaan tali tetapi, sebenarnya ada hal lain yang saya pikir akan cukup kuat untuk menantang asumsi tersebut.
Dalam naskah suci Avestan (Persia kuno) terdapat bagian di mana Ahura Mazda menceritakan kepada Zarathustra tentang kisah Yima.
Dikisahkan bahwa, pada awalnya, Ahura Mazda menawarkan Yima tugas untuk menerima hukumnya dan membawanya kepada manusia. Ia diminta menghafal (berlatih dan menyatakan) “daena”-nya (konsep Zoroaster yang mewakili wawasan dan wahyu, dimaknai sebagai; pikiran, kata-kata, dan perbuatan Ahura Mazda), dengan kata lain ia diangkat sebagai seorang Nabi. Hal yang kemudian ditolak Yima [Kellens, 1997-98, p. 760]
Ahura Mazda kemudian menawarkan kepadanya, sebagai alternatif, peran pelindung, memerintah dan memelihara bumi, untuk memastikan bahwa makhluk hidup makmur. Ahura Mazda menjanjikan bahwa, selama ia berkuasa, dunia akan sempurna, tidak ada panas dan dingin yang berlebihan. tidak ada penyakit atau kematian. Yima menerima misi ini.
Dalam banyak literatur, umumnya para sarjana menyatakan bahwa Yima bertanggung jawab atas banyak sekali penemuan yang membuat hidup lebih aman bagi rakyatnya: pembuatan baju besi dan senjata, tenun dan pewarnaan pakaian dari linen, sutra dan wol, pembangunan rumah dari batu bata, penambangan perhiasan dan logam berharga, pembuatan parfum dan anggur, seni kedokteran, hingga navigasi perairan dunia dengan kapal layar.
Tetapi siapa kah sesungguhnya sosok Yima ini?
Dalam 2 artikel saya sebelumnya : “Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh” dan Profil Sejarah Kuno Suku Laut “Bajo” saya telah mengulas mengenai sinkronisme antara sosok Yima dalam tradisi Persia – Yama dalam tradisi Hindu – Melqart dewa pelindung bangsa Phoenicia – Semar dalam tradisi Jawa – dan dengan Sem bin Nuh.
Dengan kata lain, Yima (yang biasa juga Sem atau Jam atau Jamsid), Yama, Melqart, atau pun Semar, adalah satu sosok yang sama, yaitu Sem bin Nuh.
Demikianlah, dari kisah tentang Yima dalam tradisi Persia, kita mendapatkan informasi bahwa di masa Sem bin Nuh, telah dikenal penggunaan serat untuk pembuatan benang yang selanjutnya menjadi bahan baku pembuatan pakaian dari linen, sutra dan wol.
Bahkan, informasi yang diberikan Irving Finkel (seorang filolog dan Assyriolog Inggris) berdasarkan hasil pembacaannya pada tablet tanah liat dari Mesopotamia kuno yang menggunakan huruf cuneiform, dengan tegas menyatakan bahwa tablet yang berhasil ia terjemahkan itu adalah cetak biru pembuatan bahtera Nabi Nuh.
Dalam tablet tersebut dijelaskan bahwa batera Nuh dominan menggunakan bahan serat tanaman yang dipilin bersama untuk membentuk tali panjang, yang melingkari kerangka kayu bulat.
Finkel menemukan bahwa 60 garis yang tertulis di tablet berisi instruksi terperinci untuk membuat Bahtera atau tabut, dan bahwa bahtera tersebut tidak berbentuk bujur sangkar, melainkan bulat.
Ia mengatakan bahwa bentuk Bahtera itu adalah sebuah lingkaran yang sangat besar, berdimensi 3.600 meter persegi atau dua pertiga ukuran lapangan sepakbola.
Menurut Finkel, bahtera Nuh terbuat dari serat tanaman yang dipilin bersama untuk membentuk tali panjang, yang melingkari kerangka kayu bulat. Tali ini tebal satu jari dan panjangnya 527 km. Tali dianyam di seluruh bagian bahtera dengan kisi kayu yang memberi kekakuan ditempatkan di beberapa bagian. Bahtera tahan air dengan aplikasi bitumen (sejenis aspal) di sisi luar dan dalam.
Yang menarik, informasi yang diberikan Finkel terkait bentuk melingkar bahtera Nuh ini, sangat identik dengan beberapa puzle lain yang saya pikir bisa dikatakan sebenarnya terkait dengan bahtera Nuh.
Dalam Al Quran, “Fulka” adalah diksi yang dominan digunakan untuk menyebut bahtera Nuh (7:64, 10:73, 11:37, 11:38, 23:27, 26:119, 36:41). Hanya sekali saja kata “Safinah” digunakan untuk menyebut Bahtera Nuh, yaitu pada surat al-Ankabut: 15.
Di sisi lain, saya menemukan jika diksi Fulka ada kemungkinan terkait dengan sebutan “Phulka” yakni nama roti tradisional di India, yang mana bentuk roti ini menunjukkan kemiripan dengan model bahtera Nuh yang direka ulang Irving Vinkel.

Etimologi Kata “ark” (bahtera) sendiri berasal dari bentuk “aerc” (Inggris Kuno), yang kemungkinannya berasal dari bentuk “areca” yaitu sebutan ilmiah untuk marga spesies pohon palem. Setidaknya asumsi ini sejalan dengan Serat kelapa yang digunakan Irving Finkel dalam membuat model Bahtera Nuh. (sumber di sini)
Demikianlah, jika merujuk pada fakta-fakta yang saya sajikan di atas, tampak bahwa penggunaan serat tanaman untuk pembuatan tali telah mulai digunakan bahkan sejak zaman nabi Nuh.
Mengenai bangsa di mana nabi Nuh terlahir, Nabi Muhammad dalam salah satu hadistnya menyampaikan bahwa empat nabi terawal, Adam, Syits, Akhnukh atau Idris, dan Nuh berasal dari bangsa Suryani.
Dalam beberapa artikel saya sebelumnya, misalnya pada: Kaitan Negeri Saba dan Wangsa Surya (Bangsa Matahari) dan Ini Dasar dan Fakta bahwa Negeri Sabah atau “Negeri Pagi” Adalah Identitas Wilayah Nusantara di Masa Kuno, saya telah mengulas berbagai fakta yang menunjukkan bahwa bangsa Suryani atau bangsa matahari, berasal dari negeri pagi yang dalam beberapa kitab suci lebih dikenal dengan sebutan negeri saba (sabah dalam bahasa Arab berarti pagi. Kata sabah ini equal dengan kata subuh yang berarti pagi dalam bahasa Indonesia)
Lebih jauh, dalam artikel tersebut juga telah saya ungkap bahwa nusantara atau wilayah Indonesia saat ini adalah wilayah yang di masa kuno dikenal sebagai Negeri Saba atau negeri pagi. Hal ini didasari oleh fakta lain yang saya temukan bahwa, di masa kuno telah ada pembagian wilayah (zona waktu) di muka bumi menurut posisi matahari di langit. Hal ini saya ulas dalam artikel: Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno.
Demikianlah, intinya, jika para sejarawan menganggap bangsa Mesir kuno sebagai bangsa yang pertama kali memperkenalkan penggunaan tali maka, jika merujuk pada fakta-fakta yang saya rinci di atas, bisa dikatakan bahwa, bangsa yang mendiami wilayah nusantara di masa kuno lah yang pertama kali menggunakan dan memperkenalkan penggunaan tali.
Fakta bahwa bangsa Mesir kuno mendokumentasikan pembuatan dan penggunaan tali di relief makam raja-raja mereka, saya pikir tidak bisa serta merta dijadikan alasan untuk mengklaim bahwa merekalah yang pertama kali menemukan teknologi tali. Dalam pandangan saya, relief-relief tersebut lebih merupakan upaya mereka untuk merekam apa yang mereka anggap sebagai informasi yang penting untuk terus dilestarikan. Informasi yang mereka dapatkan dari leluhur mereka.
Di titik ini, penting untuk pembaca ketahui bahwa, sebuah Informasi dari penguasa Dinasti Pertama Mesir atau Horus-Kings, mengatakan bahwa Punt ( Ta netjer atau “Tanah Tuhan”) merupakan tanah air leluhur mereka. Pembahasan mengenai hal ini telah saya ulas dalam artikel: Hubungan Nusantara dan Tanah Punt.
Selama ini, para sejarawan umumnya sepakat bahwa tanah Punt terletak di timur. Ada yang mengidentifikasi letaknya di sekitar tanduk Afrika, ada pula yang menempatkannya sejauh benua India.
Dalam mengidentifikasi letak Punt, umumnya para Ilmuwan mendasarkan pencermatannya pada produk perdagangan yang dibawa pulang oleh ekspedisi orang-orang Mesir kuno dari tanah Punt.
Laporan pelayaran kapal orang Mesir kuno ke tanah Punt, seperti misalnya yang dilakukan di masa pemerintahan raja Hatshepsut, terekam dalam relief di kuil kamar mayat di Deir el-Bahri. Pada relief tersebut digambarkan bahwa ekspedisi perdagangan ke tanah Punt itu kembali dengan membawa emas, gading, kayu hitam, dupa, resin aromatik, kulit binatang, binatang hidup, kosmetik rias mata, kayu wangi, dan kayu manis.
Yang menarik untuk dicermati lebih jauh tentu saja keberadaan produk kayu hitam atau ebony.
Pada hari ini, ilmuwan beranggapan bahwa pohon ebony adalah tanaman endemik di beberapa wilayah saja seperti Afrika barat, India selatan, Sri Lanka, dan pulau Sulawesi.
Kata ‘ebony’ sendiri dianggap berasal dari bahasa Mesir Kuno ‘hbny’, dan bahasa Yunani Kuno ἔβενος (ébenos ).
Tapi menurut pendapat saya, sejalan dengan fakta bahwa ebony adalah tanaman endemik di pulau Sulawesi, adalah sangat mungkin bahwa, kata ‘ebony’ sebenarnya berasal dari kata ‘boni’ yang pada hari ini kita ketahui merupakan sebutan salah teluk di pulau Sulawesi, yaitu: teluk boni.

Jadi, nama kayu ebony pada dasarnya berasal dari nama wilayah di mana pohon ini pertama kali berasal, atau pertama kali dikenal dan digunakan manusia.
Bahkan, adalah sangat mungkin pula bahwa nama punt juga berasal dari nama ‘boni’ ini.
James Henry Breasted dalam bukunya “Ancient Records of Egypt…” (1906. hlm. 117, vol.1 ) menjelaskan, Tanah Punt – pwnt (Mesir), pembacaan alternatif secara Egyptological: Pwene(t), diperkirakan mengacu pada “Opone,” yang dikenal oleh orang Yunani kuno sebagai: Oponi.
Melalui tinjauan fonetis dapat kita lihat bahwa bentuk ‘boni’ dengan Opone atau Oponi adalah sangat identik.
Lalu, bagaimana menjelaskan Punt, Opone,Oponi, dan Boni sebagai suatu hal yang sama?
Pertama-tama, saya ingin mengajak pembaca untuk mencermati sebutan tanah Punt yang oleh bangsa Mesir kuno kadang disebut juga dengan istilah Ta netjer yang artinya “Tanah Tuhan”.
Sebutan Ta netjer ini mesti dilihat sebagai suatu fakta yang merujuk pada pemahaman bahwa tanah Punt adalah wilayah Ra sang Dewa Matahari yaitu wilayah yang terletak di sebelah timur Mesir, di arah matahari terbit.
Literatur yang lebih tua menyatakan bahwa label “Tanah Tuhan”, bila ditafsirkan sebagai “Tanah Suci” atau “Tanah para dewa/leluhur”, berarti orang Mesir kuno memandang Tanah Punt sebagai tanah air leluhur mereka.
Jika Tanah Punt berada di sebelah timur Mesir lalu, dimanakah letak pastinya? dan mengapa orang Mesir kuno menyebutnya Punt atau Opone, sementara orang Yunani kuno mengenalnya dengan sebutan Oponi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin membawa pembaca memahami fakta lain, yaitu bahwa Opone, Oponi atau Boni sesungguhnya berarti “pagi”.
Perubahan fonetis p dan b pada nama Poni dan Boni adalah hal yang lumrah. Dalam ilmu bahasa, hal itu dikenal sebagai fenomena perubahan fonetis yang umum terjadi dalam kelompok fonetik labial, contohnya pada kata: banua / panua / wanua, yang pada dasarnya artinya sama.
Dalam upaya menggali kesejarahan kuno melalui pencermatan linguistik, pengamatan perubahan fonetis adalah salah satu metode pendekatan yang tentunya wajib dilakukan.
Perubahan fonetis umumnya terjadi pada huruf yang sekelompok secara artikulatoris.
Pengelompokan fonetis menurut artikulator (alat ucap), sebenarnya sudah ditunjukkan dalam Aksara Syllable. (lihat pada gambar di bawah).

Jika dibandingkan dengan pengelompokan seperti dalam artikel Gerard Huet “Heritage du Sanskrit Dictionnaire sanskrit-francais”, maka terlihat sedikit ada perbedaan.
ka – ga – nga – ngka (guttural)
pa – ba – ma – mpa (labial)
ta – da – na – nra (dental)
ca – ja – nya – nca (palatal)
ya – ra – la – wa (semivowel)
sa – a – ha (Sibilant)
Para ahli umumnya memasukkan fonetik s kedalam kelompok sibilant (fonetik desis), tapi saya melihatnya Approximant (hampir/ mendekati bunyi) ke kelompok palatal. Contoh perubahan fonetik di lapangan pun memperlihatkan hal itu. Contoh: azab – ajab – asab.
Mengenai pengelompokan semivowel: ya – ra – la – wa dalam artikel Gerard Huet, memang sudah benar, tapi bahwa ya Approximant ke palatal, ra Approximant ke dental, la Approximant ke dental, dan wa Approximant ke labial, saya pikir juga merupakan pendapat yang sudah benar (seperti yang ditunjukkan pengelompokan pada aksara Bugis).
Demikianlah, dengan berdasar pada prinsip pengamatan perubahan fonetis menurut artikulator maka, untuk kata ‘Boni’, beberapa bentuk kata yang dapat diprediksi kemungkinan muncul sebagai akibat dari perubahan fonetisnya adalah sebagai berikut: poni – poli – pori – podi – poti – boni – boli – bori – bodi – boti – woni – woli – wori – wodi – woti – moni – moli – mori – modi – moti.
Dari kesemua variasi bentuk morfologi yang dihasilkan di atas, beberapa diantaranya dapat kita temukan digunakan di pulau Sulawesi, yaitu: poni, poli, boni, boli, woli, woti, moni, dan mori.
Bentuk nama “Po-ni, Po-li, Bo-li dan Bo-ni” oleh para ahli sejarah Asia tenggara dari abad 19 hingga abad 20 dianggap sebagai bentuk transkripsi dari nama kerajaan di suatu wilayah di kepulauan laut selatan (Nusantara) yang disebutkan I-Tsing (seorang biksu asal Cina yang mengunjungi Nusantara sekitar tahun 671 M). kata ‘Boni’, seperti yang telah saya sebutkan di atas, sesuai dengan nama teluk Boni di pulau Sulawesi.
Bentuk “Woli” dapat kita duga memiliki keterkaitan dengan bentuk Wolio, yakni nama kecamatan di pulau Buton.
Bentuk “Woti” dapat kita duga memiliki keterkaitan dengan nama danau Towoti di Luwu Timur. “To” pada dasarnya berarti “orang” dalam Bahasa daerah setempat. Jadi “To Woti” artinya “orang Woti”.
Pemaknaan “Woti” di atas dapat pula kita terapkan pada bentuk “Moni,” yang kuat dugaan saya memiliki keterkaitan dengan “Tomoni” yang merupakan nama kecamatan di Luwu Timur. Jadi, “To Moni” dapat berarti “Orang Moni”.
Bentuk “Mori” sendiri merupakan nama pulau di sekitar muara sungai Malili, dan juga merupakan nama suku atau penduduk asli di wilayah Sulawesi tengah.
Dan bisa dikatakan bahwa, bentuk nama ‘mori’ sebagai salah satu bentuk morfologi yang dihasilkan nama ‘Boni’ juga sangat memiliki muatan makna “pagi” yang signifikan. Jejak untuk hal ini dapat kita lihat pada ucapan selamat pagi orang Maori yaitu “Morena“. Kata ini identik dengan bentuk “morning” dalam bahasa Inggris, yang pada situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata “morning” adalah: “morn” yang mendapat suffix -ing.
Bahkan, kata ‘Timur’ atau ‘Timor’ sebagai letak arah matahari terbit sebenarnya berasal dari bentuk ‘mori’. Kata Timor terdiri dari bentuk: ti dan mor.
‘ti’ adalah bentuk definitif yang pada hari ini kita temukan digunakan dalam bahasa Inggris yaitu bentuk ‘the’. Sementara ‘mor’ atau ‘mori’ berarti: pagi. Jadi, kata timor atau timur pada dasarnya bermakna “sang pagi”.
Jika anda memasalahkan perbedaan tipis antara bentuk mori dan mor, kenapa yang satu memiliki huruf i sementara yang satunya tidak, maka, dapat saya jelaskan bahwa perbedaan itu menandai perbedaan signifikan antara bahasa bangsa maritim (bangsa laut) dan bahasa bangsa kontinental (daratan).
Ciri khas leksikon atau kosakata yang terdapat dalam bahasa bangsa maritim atau bangsa pelaut adalah, setiap suku kata berakhir dengan vokal. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkap John Inglis (seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877) bahwa, ciri bahasa melayu adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal.
Hal ini dimungkinkan oleh karena ketika berbicara di tengah laut, para pelaut mesti berbicara dengan suara keras untuk mengatasi kerasnya suara deburan ombak. Suku kata yang berakhir konsonan cenderung menjadikan pelepasan suara menjadi tidak maksimal.
Ada pun jejak sejarah atau pun tradisi yang dapat kita jadikan sebagai acuan pemahaman bahwa kata Boni sesungguhnya berarti “pagi”, dapat kita temukan pada tradisi komersial kuno di wilayah India utara dan Pakistan yang bernama “Bohni” atau “Boni” yang berarti: penjualan pertama di pagi hari.
Bohni atau boni adalah kebiasaan sosial dalam kegiatan komersial dari India Utara dan Pakistan yang mengacu pada penjualan pertama di pagi hari. [S.W. Fallon. A new Hindustani-English dictionary with illustrations from Hindustani literature and folk-lore. 1879:262]
Dalam “A dictionary, Hindustani and English : accompanied by a reversed dictionary, English and Hindustani” Bohni disebutkan sebagai uang yang diterima pada penjualan pertama di pagi hari oleh penjaga toko dan pedagang keliling. Tidak menerima kredit, dengan kata lain transaksi terjadi secara tunai saja dan idealnya tanpa diskon. [Duncan Forbes. A dictionary, Hindustani and English : accompanied by a reversed dictionary, English and Hindustani. 1866: 132]
Di Jawa hal semacam bohni dikenal dengan istilah penglaris, sementara di Sulawesi selatan khususnya pada pedagang Bugis lebih dikenal dengan istiah “Pammula Balu” (artinya: penjualan pertama) – makna “Pammula balu” ini persis sama dengan makna bohni di India utara dan Pakistan.
Secara umum, hampir tidak ada perbedaan bentuk sentimen pedagang di wilayah Pakistan atau India dengan pedagang bugis di Sulawesi Selatan mengenai budaya dagang ini.
Bagi pedagang di wilayah Pakistan dan India Utara penjualan pertama (bohni) dipercaya berpengaruh kepada kesuksesan kegiatan penjualan selanjutnya pada hari itu. Adalah pertanda buruk jika pelanggan pertama pergi tanpa melakukan pembelian, sehingga pedagang sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan itu terjadi.
Pada momentum bohni, harga barang biasanya dibuat relatif rendah agar penjualan dapat dimulai dan keberuntungan dapat dipertahankan. [Pramod Kumar Sinha – 1970, The depiction of folk-culture in Vidyapati’s prose]
Setelah transaksi bohni berhasil, kebanyakan orang yang percaya takhayul akan meludahi uang hasil penjualan pertama tersebut dengan harapan tindakan tersebut dapat menghindarkannya dari kesialan pada hari itu.
Pada pedagang-pedagang di Sulawesi Selatan praktek semacam ini pun dapat kita jumpai, biasanya mereka meludahi lalu melipatanya dengan baik kemudian menyimpannya di bagian yang dianggapnya special di dalam tempat penyimpanan uang.
Bersambung
pada bagian selanjutnya saya akan membahas pembahasan pendekatan etimologi sebutan tali dalam beberapa bahasa di dunia yan lagi-lagi mengarahkan kita pada pertimbangan bahwa sangat mungkin tali pertama kali diperkenalkan ke dunia oleh suatu bangsa di nusantara (Indonesia).