Dalam tulisan saya sebelumnya (“Negeri Pagi”, Identitas Nusantara di Masa Kuno dan Nusantara sebagai “Negeri Saba” Menurut Beberapa Catatan Kuno) telah saya bahas mengenai hipotesis Nusantara sebagai “Negeri Sabah” atau “Negeri Pagi”, ini dengan asumsi bahwa kata “sabah” ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “pagi”.
Hipotesis ini tentunya memunculkan pertanyaan selanjutnya; bahwa jika ada yang disebut “Negeri Pagi” tentulah ada pula yang disebut “Negeri Siang”, “Negeri Sore”, dan “Negeri matahari terbenam”. Dan ternyata, penelusuran yang saya lakukan beberapa tahun terakhir ini dapat membuktikan keberadaan semua negeri tersebut. Inilah yang kemudian mendasari kesimpulan saya bahwa telah ada pembagian zona waktu di masa kuno, yang kuat dugaan saya dilakukan oleh Bangsa Matahari.
Yang menarik karena Pembagian waktu ini, jika dicermati, nampaknya erat kaitannya dengan pembagian waktu ibadah harian dalam tradisi Yahudi, umat Kristiani, maupun Islam.
Sebagaimana kita ketahui, Lima waktu shalat yang dikenal dalam Islam – yang didasarkan pada posisi matahari, yaitu: Fajar (ketika Matahari terbit), Lohor atau Dhuhr (ketika matahari tepat di atas kepala), Azhar (ketika posisi Matahari telah condong ke barat), Maghrib (matahari terbenam) dan Isya (malam).
Sementara itu, dalam praktek Kristiani, jam kanonik, yaitu jadwal tradisional siklus monastik doa harian – terbagi dalam beberapa pembagian waktu, yaitu: Matins (Tengah Malam); Lauds (sekitar 3 AM); Prime: 6-9 AM (matahari terbit dan pagi hari); Underne (Terce): 9-12 AM (pagi); Sexte: 12-3 PM (siang); None: 3-6 PM (sore); Vesper (Senja/Maghrib): 6-9 PM (malam); Compline: 9 PM. (Jeffrey L. Forgeng, Will McLean. Daily Life in Chaucer’s England. Greenwood Press, 2009, hlm. 69-70)
Dapat kita lihat bahwa pembagian waktu-waktu ibadah yang terdapat dalam tradisi keagamaan Yahudi dan Kristiani — nampak nyaris tidak ada bedanya dengan waktu-waktu shalat harian dalam tradisi Islam. Hanya saja di dalam Islam, waktu shalat di jam 9 pagi, yaitu shalat Dhuha, tidak masuk dalam shalat wajib yang lima waktu, tapi hukumnya sangat dianjurkan untuk dilakukan.
Pembagian waktu-waktu ibadah tersebut berinterval waktu 3 jam, yang dalam pembagian garis bujur bernilai 45 derajat . Jadi, jika merujuk penentuan titik meridian 0 derajat berada di Greenwich (sebagaimana yang berlaku di dunia), maka nilai masing-masing waktu tersebut adalah: jam 6.00 (terbit fajar diujung timur) berada di garis bujur 180 derajat; jam 9.00 (pagi) berada di garis bujur 135 derajat; jam 12.00 (siang) berada di garis bujur 90 derajat; jam 15.00 (sore) berada di garis bujur 45 derajat; jam 18.00 (terbenam matahari) berada di garis bujur 0 derajat. Dapat diduga bahwa nilai sudut dari jam-jam tersebut adalah nilai sudut posisi Matahari di langit dilihat dari bumi.
Dari kesemua waktu ibadah yang telah diuraikan di atas, ada empat waktu yang saya perkirakan menjadi dasar penentuan zona waktu berdasarkan posisi matahari di langit siang hari, yaitu: waktu pagi, siang, sore, dan maghrib. Formasi pembagian zona waktu disusun berurutan dari timur ke barat. Metode penentuannya adalah menyelaraskan waktu fajar di zona tertentu dengan waktu yang ditunjukkan wilayah paling timur di bumi pada saat yang sama. Mengacu pada data peta, pulau Nukulaelae di Tuvalu adalah wilayah paling timur di bumi.
Berikut hasil pencarian keberadaan toponim yang identik dengan nama waktu-waktu ibadah agama Samawi, dan sebagai bukti adanya pembagian wilayah di bumi pada zaman kuno menurut posisi matahari di langit:
3 Comments on “Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno”
Comments are closed.