Suku Bajo atau Bajau menyebut diri mereka “Orang Sama”. [Adrian B. Lapian. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009: hlm. 80]
Nama ‘Bajo’ sendiri merupakan sebutan orang luar (outsider) untuk mereka.
Informasi yang diungkap oleh kalangan suku Bajo terkait mengenai asal usul nama ‘Sama’ menyatakan bahwa mereka percaya merupakan keturunan dari Sam bin Nuh. Jadi sebutan ‘Sama’ berasal dari nama Sam.
Pernyataan ini sebenarnya sangat menarik terutama oleh karena, reputasi suku Bajo yang mendunia di era modern sebagai bangsa pelaut ulung – yang di sisi lain menyatakan dirinya sebagai bangsa keturunan dari Sam bin Nuh, terlihat sangat berkorelasi dengan profil bangsa Phoenicia yang dalam literatur sejarah, kita kenal memiliki reputasi sebagai bangsa pelaut ulung di dunia kuno yang pada kenyataannya menjadikan dewa Melqart atau Yama sebagai dewa pelindung mereka.
Penting untuk pembaca ketahui bahwa; dewa Melqart atau dewa Yima (dalam tradisi Persia) atau dewa Yama (dalam tradisi Hindu) dapat kita duga kuat sebenarnya adalah sikronisme dari Sem bin Nuh. Literatur sejarah dunia kuno (yang tersedia) terkait subjek ini sebenarnya sudah cukup memadai dalam menuntun kita menuju ke arah kesimpulan ini.
Silakan cermati beberapa poin berikut ini yang secara jelas menunjukkan sinkronisme Melqart, Yima/ Yama dengan Sem bin Nuh …
Dalam tradisi Hindu, dewa Yama disebut sebagai penguasa arah selatan (dunia bawah). Nama ‘Yaman’ sendiri sesungguhnya berasal dari nama dewa Yama. Hal ini dikuatkan oleh etimologi “Yaman” dari “ymnt,” yang berarti “Selatan” .
Keberadaan huruf n di akhir kata “yaman” dapat diduga membentuk makna “orang-orang” atau “bangsa”. Ini persis sama dengan yang kita jumpai pada kata “Indian” (bangsa India), ataupun “Indonesian” (bangsa Indonesia). Jadi, “Yaman” selain bermakna “selatan,” juga bermakna: orang-orang Yama atau Bangsa Yama – yang berasal dari selatan. Di sisi lain, dalam perjalanan sejarahnya, orang Yaman kuno diketahui menyembah dewa matahari yang bernama Sham.
Yima/ Yama dan Melqart, dalam legendanya masing-masing, disebut sebagai Raja atau penguasa dunia bawah (Archaeology and the Religion of Israel, Baltimore, 1953; pp. 81, 196).
Selain itu, jika ditinjau pada aspek warna, Yama dan Melqart memang menunjukkan adanya kesamaan. Melqart dalam legendanya disebut sebagai penemu warna ungu. Sementara itu, warna kulit Yama sering digambarkan berwarna biru, kadang-kadang merah, dan, pencampuran antara biru dan merah yakni ungu. Yama menempati graha Mars (planet Merah), dan lembu yang ditunggunginya pun biasanya digambarkan berwarna ungu.
Terkait status Yima/ Yama dan Melqart yang dikenal sebagai penguasa dunia bawah atau wilayah selatan, menarik sekali untuk melihat ini hal memiliki korelasi dengan tradisi yang berkembang dalam agama Samawi yang mengatakan bahwa, Nabi Nuh menganugerahi Yaphet tanah di wilayah utara sementara Sem (Sam) mendapatkan tanah di wilayah selatan.
Demikianlah, beberapa poin yang menguatkan hipotesis sinkronisme Yima/ Yama, Melqart dan Sem bin Nuh.
Mungkin ada sebagian pembaca yang menganggap uraian saya ini hanyalah upaya mencocok-cocokkan saja alias cocoklogi, tetapi sebenarnya, metode semacam ini sudah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu ketika budaya dan pengaruh Yunani menyebar seiring penaklukan Alexander the Great. Hal ini dikenal dengan sebutan periode sinkretisme – atau “interpretatio graeca” artinya “terjemahan Yunani” atau “interpretasi dengan menggunakan [model] Yunani”. Ini adalah upaya menafsirkan atau mencoba memahami mitologi dan agama dari budaya bangsa lain, dengan membandingkannya dengan konsep Yunani kuno dalam hal praktik keagamaan, dewa, dan mitos, untuk melihat kesetaraan dan karakteristik yang sama. [Mark S. Smith: God in Translation: Deities in Cross-Cultural Discourse in the Biblical World, 2008: 39]
Ini snagat membantu kami, baru kali ini saya lihat artikel yang membahas sejarah suku bajo