Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh

1 Shares
Reading Time: 13 minutes

Selain dikenal sebagai tokoh penting dalam pewayangan—pengasuh / penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana—Semar juga merupakan entitas mistis yang mengisi panggung dunia spiritual masyarakat Jawa.

Mark R. Woodward, peneliti etnografi Jawa dari Amerika, dalam bukunya berjudul “Islam Jawa ; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan” mengatakan: Semar juga dianggap sebagai pembimbing spiritual dalam pengertian yang lebih umum. Banyak mistikus Yogyakarta yang mencari inspirasi darinya dan secara rutin berkunjung ke candi di Serandil yang diyakini merupakan tempat berkubur.

Woodward juga mengatakan, ada pandangan yang berkembang di antara para mistikus Yogyakarta bahwa, peran Semar dalam mistisisme sama dengan Nabi Muhammad dalam sistem kesalehan Islam normatif. Beberapa di antaranya lebih jauh melukiskannya sebagai “nabi batin.



Hal ini dianggap Woodward sebagai tema yang menguat di dalam kepercayaan kraton Yogyakarta, tempat posisi Semar paralel dengan Sunan Kalijaga. Sebagaimana wali, Semar membantu Sultan mengatur wewenang yang ia transendensikan sendiri. Dalam hal ini, Sultan dianggap sebagai keturunan langsung dari Arjuna, dan karena itulah berhak atas bantuan dan perlindungan Semar. 

Lebih jauh Woodward juga mengatakan, para informannya yang berasal dari kalangan istana percaya bahwa Sultan bisa berbicara langsung dengan Semar, yang membimbing adminstrasi kerajaan maupun persoalan keagamaan pribadi Sultan.

Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya “Sufi pinggiran: menembus batas-batas” (2007:113-114) mengatakan, dalam tradisi Jawa Semar bukan saja tokoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik.

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!



Dalam legendanya, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan karismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual luar biasa.

Demikianlah kurang lebih, seperti apa keistimewaan sosok Semar dalam tradisi masyarakat Jawa.

“Puzzle” Pohon Cemara

Seperti biasa, ketika saya mengamati sesuatu objek yang ingin saya cermati, pendekatan linguistik dalam hal aspek homofon, menjadi salah satu fokus perhatian utama saya.

Nama ‘Semar’, dalam pandangan saya, cukup homofon dengan “cemara”. Dugaan awal ini kemudian saya tindaklanjuti dengan mencari tahu nama lain dari pohon cemara. Hasilnya, saya menemukan hal menarik, dan saya pikir berpotensi menjadi “puzzle” penting untuk mengungkap asal usul sosok Semar.

Nama latin pohon Cemara adalah “Casuarina“. Nama ini berasal dari sebutan pohon Cemara dalam bahasa Melayu yakni “Pohon Kasuari”. Habitat asli pohon ini adalah wilayah Asia tenggara, Benua Australia, hingga kepulauan di Pasifik. (sumber di sini)

Pertanyaan yang mesti timbul dari fakta ini adalah: Mengapa “pohon Cemara” juga disebut sebagai “pohon Kasuari” oleh orang-orang Melayu (Asia Tenggara) di masa lalu? apa yang mendasari hal itu?

Meskipun alasan umumnya adalah karena daun pohon Cemara terlihat mirip dengan bulu burung Kasuari, namun dalam pandangan saya, adanya kesamaan visual antara sosok Semar dalam pewayangan dengan burung Kasuari juga layak dipertimbangkan, yakni keduanya sama-sama menunjukkan memiliki bokong yang besar, juga sama-sama memiliki Jambul.

Lebih jauh, kita akan dapat menemukan Pembuktian berikutnya dengan menggali makna nama lain dari pohon cemara yakni: RuRhu, atau Aru. ini juga merupakan sebutan lain pohon Cemara atau pohon Kasuari dalam bahasa Melayu.



Kata “ru, rhu, atau pun aru” tampaknya bentuk kuno dari kata “haru” yang kita kenal dalam bahasa Indonesia (sinonim dengan kata sedih). Dari Proto-Melayu  (h)Aru, Proto-Malayo-Chamic (h)aru, Proto-Malayo-Sumbawan (h)aru, Proto-Sunda-Sulawesi (h)aru, Proto-Malayo-Polinesia (q)aruhu. Sementara dalam bahasa Kabyle (bahasa Berber) yang digunakan oleh orang-orang Kabyle di utara dan timur laut Aljazair, kata ‘ru‘ artinya: menangis. meneteskan air mata. Hal ini sejalan dengan wajah Semar yang senantiasa dilukiskan dengan mata yang selalu sembab dan mengeluarkan air mata. 

Ini juga tampaknya ada keterkaitan mengapa nama pohon Cemara juga disebut “pine” (pinus). Menurut http://www.etymonline.com kata “pine” berasal dari bahasa Inggris Kuno Pinian = torment, afflict, cause to suffer” (siksaan, penderitaan, menyebabkan penderitaan), dan dari pin (n.) = “pain, torture, punishment” (Sakit, siksaan, hukuman). Dianggap berasal dari bahasa Latin poena = “punishment, penalty” (hukuman, penalti).

Berikutnya, pohon Cemara juga disebut “Whistling Pine”. Whistling yang artinya bersiul” pun pada kenyataannya terkait pula dengan salah satu ciri Semar yang diceritakan dalam pewayangan kadangkala mengeluarkan bunyi kentut,  dianggap sebagai salah satu kesaktiannya.

Demikianlah, beberapa komparasi di atas saya pikir sudah cukup memperlihatkan adanya kemungkinan bahwa nama “Cemara” sesungguhnya memang terkait erat dengan nama “Semar.”

Hal ini mungkin dapat juga menjadi penjelasan terkait adanya toponim (nama wilayah) yang menggunakan sebutan “cemara” di beberapa tempat di Jawa tengah. Seperti pantai Cemara Sewu, atau pantai Goa Cemara di Yogyakarta, juga Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu di Gunung Lawu.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa simbol-simbol seperti “mata sembab, dan linangan air mata” yang digambarkan pada sosok Semar, dapat lebih terurai makna metaforanya melalui penggalian makna nama-nama lain dari pohon cemara. 



Ini seperti menjadikan entitas pohon cemara sebagai secret chamber of meaning atau “ruang penyimpanan makna tersembunyi” dari sosok Semar.

Adapun mengenai “hukuman, dan penderitaan” yang menyebabkan mengapa Semar senantiasa bersedih dan meneteskan air mata, dapat kita temukan jawabannya melalui penerjemahan makna nama lain dari Semar.

Penerjemahan Nama Lain Semar

Semar dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Janggan SmarasantaKi Lurah Badranaya, dan Ki Lurah Nayantaka. Namun yang umum dikenal adalah Badranaya. Biasanya dirangkai menjadi “Semar Badranaya”.

Yang menarik, bentuk “naya” pada nama Badranaya ataupun Nayantaka terdapat pula pada kata “argwonoyo” yang dalam tulisan sebelumnya “Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya”, telah saya jelaskan sebagai sebutan untuk warna ungu dalam bahasa kuno Aram dan Suryani.

Dalam bahasa Sanskrit, “naya” bermakna: pemandu, pembimbing, memimpin, konduktor, pelindung, sudut pandang, bijaksana, dan masih banyak lagi.

Sementara dalam bahasa Arab, mungkin kita dapat melihatnya sinonim dengan kata “kinayah” yang berarti: bermakna ganda. Sarjana muslim seperti Tabary, Ibnu Mandhur, dan Qurthuby memaknainya: irdaf (sinonim), Dhamir (pronoun atau kata ganti).

Jadi, kata “naya” ini bisa dikatakan selaras dengan makna nama Yama “kembar”. Hal ini juga bisa kita temukan dalam bahasa Sanskrit bahwa, Yama berarti “kembar” atau bisa juga berarti “sama”. [Thomas Egenes. Introduction to Sanskrit – Part 2, 2000: hlm. 132]



1 Shares

2 Comments on “Identifikasi Jati Diri Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh”

Comments are closed.