Pelras dan Serangan Brutalnya pada Kesejarahan Bugis dan Perahu Phinisi

Reading Time: 7 minutes

Terdapat banyak literatur tentang Bugis yang ditulis oleh para peneliti dari Eropa setidaknya mulai dari abad ke-18 hingga ke-19, yang saya pikir cukup objektif mengurai profil kesejarahan Bugis sebagaimana adanya. 

Salah satu yang menarik adalah yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles dalam buku “The History of Java” Volume II (1817: Hlm. clxxxiii-clxxxiv) yang bercerita tentang pelaut dan pedagang dari Celebes. 

Dalam buku yang ia susun selama masa tugasnya di Nusantara tersebut, Raffles menggambarkan kekagumannya terhadap suku Bugis, bukan saja dalam hal pelayaran dan perniagaan, tapi juga dalam hal karakter yang menurutnya memiliki kesamaan dengan klan-klan dari Inggris utara.

Mengenai ‘orang-orang Waju’ yang disebut Raffles sebagai pelaut yang mendominasi perdagangan luar negeri, yang membentuk kru hampir semua perahu-perahu orang Bugis yang menavigasi Laut Timur, sepertinya, yang dimaksudkannya itu, tak lain adalah orang Bajou atau Bajoe (penyebutan Bugis). 





Terkait hal ini, James Cowles Prichard dalam Researches Into the Physical History of Mankind: History of the Oceanic and of the American Nations. Vol. V (1847: hlm. 90) menjelaskan sebagai berikut:

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

‘Biaju’ mungkin sama dengan ‘Baju’ atau ‘Badju’ dan ‘Waju’, istilah yang dipergunakan di pesisir Makassar di Sulawesi, dan juga untuk orang-orang tidak umum yang hidup di atas laut di prahu, dan yang resor utamanya adalah pantai timur Kalimantan dan pantai barat pulau Sulawesi. 

Orang-orang yang disebutkan terakhir ini biasanya disebut ‘Badju Laut’, atau ‘Badju dari laut’. Orang Waju dari Sulawesi adalah orang-orang yang lebih terpelajar daripada Biaju dari Kalimantan, dan peradaban mereka tampaknya sezaman dengan orang-orang Bugis Celebes, yang mana adalah tidak mungkin untuk membedakan mereka. 

Di Singhapore orang-orang Waju umumnya disebut Bugis. Marsden mengatakan bahwa mereka disebut Tuwaju. Saya tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Biaju atau Baju Dayak, Badju atau Baju Laut, Waju atau Tuwaju, dan Bugis atau Ugi adalah satu dan orang yang sama, dengan hanya sedikit variasi dalam sopan santun yang merupakan hasil dari pemisahan dan hubungan dengan orang asing.

Dalam buku “Penjelajah Bahari” (2008: Hlm. 99) merupakan terjemahan dari judul asli: “The Phantom Voyagers“, Robert Dick mengungkap hal yang sama bahwa bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang bugis yang merupakan “sepupu” mereka, mengalami perubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain. 

Lebih lanjut Robert Dick mengatakan bahwa Kemauan mereka untuk mengambil dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pulau-pulau merupakan bagian penting yang harus dicatat. 

Hal tersebut bahkan berlaku hingga benda-benda yang penting bagi ke hidupan mereka, seperti istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian orang tidak akan mengalami perubahan. 



Adrian Horridge, yang memahami permasalahan itu dengan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis: “Sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat mengadopsi bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat mencengangkan.”

Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memiliki kekerabatan yang mendominasi “dunia perahu”, masing-masing memiliki istilah yang sangat berbeda untuk bagian-bagian dari perahu.

Adanya perbendaharaan kata khusus untuk bagian-bagian tertentu dari perahu, dan juga beragamnya nama jenis kapal, menunjukkan fakta adanya pengembangan secara bertahap dalam periode yang sangat lama.

Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai reputasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan. 



Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka (baca pembahasan mengenai Malaka, terutama di masa Portugis di sini dan di sini). 

Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler dari Kalimantan ke Jawa.