Selain bahwa mereka sama-sama merupakan tokoh besar yang sangat berpengaruh yang eksis di abad ke-19, ketiga orang ini (Pangeran Diponegoro, Raden Ronggowarsito dan H.P. Blavatsky) juga memiliki beberapa kesamaan lain, seperti: terlahir dari keluarga bangsawan [1]; Intelek/ berbakat di bidang literasi (ketiganya menghasilkan karya tulis yang melegenda) [2]; dan sama-sama sangat tertarik dengan dunia spiritualitas [3].
1. Berasal dari keluarga bangsawan
Diponegoro—yang bernama kecil Bendoro Raden Mas Mustahar—lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785 tepat menjelang fajar. Pada tahun 1805 nama Raden Mas Mustahar diganti menjadi Raden Mas Ontowiryo oleh eyang (kakek) nya yaitu Sultan Hamengkubuwono II.
Dalam tarikh Jawa, hari kelahiran Diponegoro sangat bertuah karena jatuh pada bulan Jawa Sura, bulan pertama dalam tahun Jawa, ketika secara tradisional kerajaan baru didirikan dan gelombang sejarah baru dimulai.
Ayah Diponegoro, Raden Mas Surojo, adalah anak sulung Hamengkubuwono II (yang berarti calon Hamengkubuwono III).
Ibunya, Raden Ayu Mangkorowati (istri selir Hamengkubuwono III), merupakan keturunan Ki Ageng Prampelan, seorang tokoh yang sezaman dengan raja pertama Mataram, Panembahan Senopati (1575-1601).
Ayah Diponegoro dikenal sebagai seorang sejarawan dan senang menulis. Sumber-sumber belanda menyebutkan bahwa ayah Diponegoro sering dipanggil oleh kakeknya, Sultan Mangkubumi (sultan pertama yang bertakhta 1749-1792), untuk membacakan dongeng-dongeng dan sejarah kuno Jawa. Tampaknya, minat literasi dari ayahnya inilah yang nantinya menurun ke Pangeran Diponegoro.
Ada pun mengenai aspek spiritual, pangeran Diponegoro tampaknya mendapat pengaruh yang signifikan dari kakek buyutnya, Sultan Mangkubumi.
Dalam otobiografinya (Babad Diponegoro), Diponegoro menggambarkan bagaimana ia diperkenalkan oleh ibunya kepada Sultan Mangkubumi. Raja sepuh itu telah meramalkan bahwa cucunya akan mendatangkan kehancuran yang lebih hebat buat Belanda daripada beliau sendiri selama perang Giyanti (1746-1755).
Ramalan itu memberi wawasan mengenai betapa pentingnya ketokohan Sultan pertama yang karismatik bagi Diponegoro.
Nantinya, ramalan tersebut dikaitkan oleh Pangeran Diponegoro dengan ramalan lain (ia urai dalam otobiografinya), yang konon dibuat oleh raja Mataram abad ketujuhbelas, Sultan Agung (1613-1646), bahwa, setelah Sultan Agung wafat pada 1646, Belanda akan memerintah di Jawa selama 300 tahun dan meski seorang di antara keturunan raja Mataram akan bangkit melawan, akhirnya ia akan dikalahkan.
Tampaknya Diponegoro cukup yakin bahwa dirinyalah yang dimaksud oleh Sultan Agung dalam ramalan tersebut.
Dalam bagian yang membahas aspek spiritual, saya akan menunjukkan pada pembaca bagaimana rangkaian ramalan dari para leluhur Pangeran Diponegoro diperkuat dengan petunjuk yang sarat teka-teki lewat suara gaib yang terdengar oleh Diponegoro saat tertidur (dalam rangka menyepi) di Parangkusumo di pantai Selatan: “Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur.”
2. Intelek/ berbakat di bidang literasi
Ketika Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada sekitar tahun 1832-1833, ia menulis otobiografinya yang dikenal sebagai ‘babad Diponegoro’.
Isi Babad Diponegoro berjumlah 1.151 halaman folio tulisan tangan yang dibagi menjadi beberapa bagian kisah, dimulai dari runtuhnya sisa-sisa Majapahit pada 1527 hingga Perjanjian Giyanti pada 1755.
Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan keadaan Kesultanan Ngayogyakarta dan riwayat hidup Diponegoro dari kelahirannya pada 1785 hingga diasingkan ke Manado pada 1830. Naskah ini aslinya ditulis dalam abjad Pegon dengan bentuk Macapat (puisi tradisional Jawa).
Pada 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of th World).
Ketika Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada sekitar tahun 1832-1833, ia menulis otobiografinya yang dikenal sebagai ‘babad Diponegoro’.
Isi Babad Diponegoro berjumlah 1.151 halaman folio tulisan tangan yang dibagi menjadi beberapa bagian kisah, dimulai dari runtuhnya sisa-sisa Majapahit pada 1527 hingga Perjanjian Giyanti pada 1755.
Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan keadaan Kesultanan Ngayogyakarta dan riwayat hidup Diponegoro dari kelahirannya pada 1785 hingga diasingkan ke Manado pada 1830. Naskah ini aslinya ditulis dalam abjad Pegon dengan bentuk Macapat (puisi tradisional Jawa).
Pada 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of th World).
Banyak kalangan yang memandang bahwa pengaruh yang paling menentukan bagi Pangeran Diponegoro muda berasal dari nenek buyutnya, Ratu Ageng (biasa disebut Nyai Ageng Tegalrejo). Sejak usia tujuh tahun Diponegoro diasuh Ratu Ageng.
Ratu Ageng, isri Hamengkubuwono I, adalah sosok perempuan tangguh yang mendampingi suaminya ketika bergerilya dalam Perang Mangkubumen sampai perjanjian Giyanti. Dia dikenal sebagai “Sufi Perempuan” yang memperdalam spiritualitas dan memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan karena merupakan cucu Kiai Datuk Sulaiman Bekel Jamus putra sulung Sultan Abdul Qohir Bima yang berguru di Giri, tempat dimana Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro juga berguru di Giri sebelum berdakwah ke Sulawesi dan Bima.
Ketika kesultanan Yogyakarta terbentuk pada 1755, Ratu Ageng menjadi panglima pasukan kawal istimewa perempuan, atau semacam korps “Srikandi” kerajaan. Ini satu-satunya barisan pasukan militer kesultanan yang membuat Marsekal Herman Willem Daendels terkesan ketika berkunjung ke Keraton Yogya pada Juli 1809.
Ratu Ageng juga terkenal, menurut suatu catatan Keraton Yogya, berkat kesalehannya dan kesukaannya membaca kitab-kitab agama, juga ketekunannya merawat adat tradisional Jawa di keraton.
Tentang mengapa Dipongoro muda diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng “wanita tua yang berkemauan baja”, beberapa kalangan berpandangan bahwa mungkin ia (Ratu Ageng) melakukan itu karena melihat dalam diri cucu buyutnya suatu petunjuk kerohanian tertentu yang mendalam, yang membuat sang cucu buyut menonjol di kalangan anggota keluarga dan karena cocok atau mesti mendapat pendidikan kerohanian yang sungguh-sungguh.
Ada suatu keterangan yang menarik dalam Babad Diponegoro (versi Surakarta) di mana Pangeran Diponegoro mengatakan bahwa “dalam masa kanak-kanak saya, orang tua itu suka membuat saya ketakutan ketika memberi perintah”.