“Empat penunggang kuda” (The Four Horsemen) adalah sebuah metafora tentang nubuat masa depan, yang terdapat dalam Kitab terakhir dari Perjanjian Baru. Biasa juga disebut kitab wahyu.
Kitab ini ditulis oleh John (Yohanes) dari Patmos, karena itu kitab ini biasa juga disebut Kitab Wahyu kepada Yohanes.
Kitab Wahyu mengutarakan pemikiran tentang penglihatan apokaliptik Yohanes tentang Tujuh segel simbolis, yang mana setiap pembukaan segel tersebut dianggap menandai dimulainya periode tertentu di masa depan.
Dalam visi John, satu-satunya yang layak untuk membuka kitab / gulungan yang disegel, disebut sebagai “Anak Domba”.
Pembahasan “empat penunggang kuda” berada pada Wahyu 6:1-8. Pada bagian ini tergambar jika periode kemunculan masing-masing penunggang kuda adalah seiring dengan dibukanya satu demi satu segel. Dengan kata lain, “empat penunggang kuda” mengiringi pembukaan 4 segel dari ketujuh segel yang ada.
Penunggang kuda pertama berada di atas kuda putih, membawa busur, dan diberi mahkota, tampil sebagai sosok Penakluk.
Penunggang kuda kedua berada di atas kuda merah, membawa pedang, diinterpretasikan merupakan pencipta Perang.
Penunggang kuda ketiga berada di atas kuda hitam, membawa timbangan, diinterpretasikan sebagai pedagang, dan juga melambangkan Kelaparan.
Penunggang kuda keempat berada di atas kuda berwarna pucat (kuning kehijauan), diberi wewenang atas seperempat bumi, untuk membunuh dengan pedang, kelaparan, wabah, dan melalui binatang buas di bumi.
Kuda Putih
Wahyu 6:1-2
Maka aku melihat Anak Domba itu membuka yang pertama dari ketujuh meterai itu, dan aku mendengar yang pertama dari keempat makhluk itu berkata dengan suara bagaikan bunyi guruh: “Mari!” Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda putih dan orang yang menungganginya memegang sebuah panah dan kepadanya dikaruniakan sebuah mahkota. Lalu ia maju sebagai pemenang untuk merebut kemenangan.
Irenaeus, seorang teolog Kristen berpengaruh dari abad ke-2, adalah orang pertama yang menafsirkan Penunggang Kuda ini sebagai Yesus Kristus sendiri. Kuda putihnya dimaknai keberhasilan penyebaran Injil. Dari waktu ke waktu ada banyak sarjana yang mendukung pendapat ini. Umumnya merujuk pada kemunculan penunggang kuda putih di wahyu 19:11-14 yang dianggap sebagai kristus.
Berikut ini bunyi ayat tersebut:
- 19:11 – Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: “Yang Setia dan Yang Benar”, Ia menghakimi dan berperang dengan adil.
- 19:12 – Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui seorangpun, kecuali Ia sendiri.
- 19:13 – Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: “Firman Allah.”
- 19:14 – Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih.
Penafsiran lain yang bersandar pada penelitian religius komparatif menganggap Penunggang Kuda pertama sebagai penuntun bagi “jalan yang benar”. Di Mahabharata, Krishna adalah pengendali kereta kuda yang ditarik oleh beberap kuda putih, ia bersama Arjuna di sisinya yang membawa busur panah.
Kuda Merah
Wahyu 6:3-4
Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang kedua, aku mendengar makhluk yang kedua berkata: “Mari!” Dan majulah seekor kuda lain, seekor kuda merah, dan orang yang menungganginya dikaruniakan kuasa untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi, sehingga mereka saling membunuh, dan kepadanya dikaruniakan sebilah pedang yang besar.
Penunggang kuda kedua sering dianggap mewakili Perang, dengan penggambaran pola memegang pedang yang diangkat ke atas, seolah siap untuk berperang, atau siap melakukan pembantaian massal. Terlebih dengan merujuk pada pertimbangan warna kuda yakni “merah” yang dianggap merepresentasikan sikap “berapi-api”.
Menurut interpretasi Edward Bishop Elliott, seorang pendeta Inggris dan penulis premillennarian, yang menganggap “Empat Penunggang Kuda” adalah merupakan ramalan simbolis dari sejarah Kekaisaran Romawi, pembukaan segel kedua dan hadirnya penunggang kuda merah menggambarkan “Kedamaian meninggalkan Bumi Romawi” akibat perang. Bahwa pemberontakan merayap merasuki Kekaisaran yang dimulai segera setelah masa pemerintahan Kaisar Commodus (161 – 192 M) .
Kuda Hitam
Wahyu 6:5-6
Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketiga, aku mendengar makhluk yang ketiga berkata: “Mari!” Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hitam dan orang yang menungganginya memegang sebuah timbangan di tangannya. Dan aku mendengar seperti ada suara di tengah-tengah keempat makhluk itu berkata: “Satu liter gandum untuk satu dinar, dan tiga liter jelai untuk satu dinar; tetapi jangan merusak minyak dan anggur.”
Penunggang kuda ketiga yang mengendarai kuda hitam secara populer dipahami sebagai simbolisasi Kelaparan, terutama karena Penunggang Kuda hitam ini membawa timbangan. Dianggap menunjukkan cara roti ditimbang selama masa paceklik.