Dalam tulisan “Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno”, telah saya bahas mengenai beberapa sosok dewi yang tampaknya merupakan wujud personifikasi Hawa di masa kuno.
Dalam tulisan tersebut, yang merupakan seri lanjutan tulisan-tulisan sebelumnya, seperti:
- Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong,
- Sejarah Berhala Uzza, Sang Dewi Fajar,
- “Negeri Timur Laut” Sebutan Kawasan Nusantara di Masa Kuno,
- Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong,
telah pula saya urai aspek filosofis yang mendasari lahirnya personifikasi tersebut.
Salah satu di antara personifikasi Hawa adalah Dewi Ushas yang, dalam Rigveda pada hymne 7.77 disebutkan telah memohon diberi umur panjang. berikut ini hymne tersebut kembali saya kutip: “dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi”.
Yang menarik adalah karena walaupun dalam hymne-hymne Rigveda selanjutnya tidak ditemukan pembahasan lanjutan secara spesifik mengenai “petisi umur panjang” tersebut, namun, beberapa figur dewa dewi yang disebutkan dalam catatan-catatan kuno India, pada faktanya, tetap memperlihatkan adanya benang merah.
Sebelum lebih jauh membahas tema ini, ada baiknya pembaca terlebih dahulu memahami model penggambaran dewa dewi dalam mitologi India. Yaitu bahwa umumnya sosok dewa dewi tersebut memiliki beberapa nama, yang mana tiap nama tersebut merupakan ekspresi dari aspek atau atribut yang ingin ditonjolkan atau yang ingin dipersonifikasi dari sosok dewa dewi tersebut.
Terkait Dewi Ushas atau Dewi Fajar, yang dalam mitologi India disebut sebagai istri dari Dewa Surya, yang mana di sisi lain, Surya adalah salah satu dari delapan bentuk (ashta murti) Dewa Siwa. Dengan demikian, kita dapat melihat aspek lain dari dewi Ushas pada istri Dewa Siwa.
Istri Dewa Siwa, Parvati, dikenal sebagai dewi ibu dalam agama Hindu, dan memiliki banyak atribut dan aspek. Setiap aspeknya diekspresikan dengan nama yang berbeda, memberinya lebih dari 100 nama dalam kisah-kisah Hindu regional India. Bersama dengan Laksmi dan Saraswati , ia membentuk trinitas dewi Hindu (Tridevi).
Salah satu nama lain yang menonjol dari Parvati adalah “tara“. Untuk diketahui, kata tanah atau tana atau rana atau ranah – yang kita kenal dalam bahasa Indonesia – kuat dugaan saya, berasal dari nama “tara” ini.
Antara kata tara, tana, dan rana, tampaknya terjadi Perubahan fonetis yang umum terjadi diantara fonetis kelompok artikulatoris dental, yaitu: n, d, t, r, l. (Pembahasan mengenai metode pencermatan morfologi bahasa seperti ini dapat anda baca dalam tulisan saya lainnya: Formula Kunci Mengurai Sejarah, dan Genetik Aksara Nusantara, Formula Kunci Mengurai Sejarah).
Jadi, jika pada tulisan sebelumnya “Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno”, telah saya jelaskan bahwa sebutan “banuwa” atau “banua” berasal dari nama dewi Nuwa yang merupakan personifikasi dari Hawa, maka pada tulisan ini, lebih jauh dapat saya tunjukkan jika kata sinonim untuk banua yaitu: tana/ tanah dan rana/ ranah, juga berasal dari wujud personifikasi Ibu Hawa lainnya.
Personifikasi Hawa sebagai Ibu Bumi (mother earth) pada faktanya memang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dari nama Tara hadir sebutan “Terra” yang dalam bahasa latin berarti “bumi”, “terrain” yang dalam bahasa Prancis berarti “tanah”. Bahkan kata land dalam bahasa Inggris pun dapat diduga merupakan bentuk morfologi dari kata rana.