Pada tanggal 28 Januari 2020 kapal Padewakang—kapal kayu yang tidak menggunakan mesin dan hanya mengandalkan dorongan tenaga angin untuk berlayar—akhirnya tiba di Darwin Australia setelah berlayar selama 51 hari, terhitung sejak dilepas di Makassar, 8 Desember 2019. Horst Liebner, antropolog maritim asal Jerman yang telah 30 tahun tinggal di Indonesia, menjadi pengarah pembuatan kapal jenis Padewakang yang kemudian diberi nama “Nur Al Marege“. Kapal ini dibangun oleh Haji Usman, seorang ahli pembuat kapal asal Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Adapun ekspedisi pelayaran kapal Padewakang ke Australia ini, bisa dikatakan menapaktilasi sejarah hubungan perdagangan antara pelaut Bugis Makassar dengan orang Aborigin (penduduk asli Australia) yang terjalin berabad-abad yang lalu, jauh sebelum masa kolonial.
Untuk ekspedisi ini, theaustralian.com menaikkan pemberitaan bertajuk “Trading history for Islam connection“, yang merefleksi hubungan perdagangan orang Yolngu (Aborigin) dengan pelaut muslim dari Sulawesi.
Informasi adanya hubungan perdagangan di masa lalu antara orang Sulawesi dengan orang Aborigin Australia ini sesungguhnya berasal dari catatan Thomas Stamford Raffles dalam buku “The History of Java“, yang terbit pada tahun 1817.
Catatan inilah yang kemudian tampaknya dari waktu ke waktu menjadi rujukan para ahli sejarah dan antropologi dunia. Setidaknya, hingga saat saya belum menemukan catatan dari peneliti lain yang lebih awal dari “The History of Java“, yang membahas hal yang sama.
Mungkin saja Stamford Raffles mendapat informasi itu dari sejawatnya dari Inggris, James Cook atau John Crawfurd, tapi sejauh ini saya belum menemukan hal itu secara nyata dibahas mereka berdua dalam catatannya.
Dalam buku “The History of Java“, terkait hubungan perdagangan di masa lalu antara orang Sulawesi dengan orang Aborigin Australia, Stamford Raffles mengurai informasinya sebagai berikut:
Beberapa perahu orang-orang Bugis dari Makasar yang berkunjung ke pesisir utara New Holland dan teluk Carpentaria dalam mencari teripang tahunan, dan kadang-kadang sejumlah kecil kelompok orang ditinggal dengan tujuan untuk mengumpulkan teripang untuk memperoleh persediaan ketika kedatangan perahu-perahu tersebut dalam tahun berikutnya.
Dan berikut ini, kutipan aslinya saya capture dari buku “The History of Java” hlm. xc
Makna nama Bulukumba
Makna nama Bulukumba yang beredar selama ini, menyebutkan bahwa Nama Bulukumba, konon berasal dari bahasa Bugis “Bulu-ku Mupa”, Bulu-ku artinya: gunungku (dari kata dasar bulu = gunung), Mupa artinya: masih. Jadi, “Bulu-ku Mupa” dalam bahasa Indonesia dapat berarti, “masih gunung milik saya” atau “tetap gunung milik saya”. Pemaknaan ini dikatakan berasal dari cerita tentang Bulukumba yang muncul sekitar abad 17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Namun, secara pribadi, saya melihat makna nama Bulukumba yang sesungguhnya adalah “gunung perahu”. Dari kata ‘bulu’ (bahasa Tae’ ) artinya:gunung, dan “kumbha” (bahasa Sanskrit) artinya: perahu.
Kata “Kumbha” dalam bahasa Sanskerta memang umumnya diartikan “kendi” atau “pot tembikar”. Namun dalam aspek ritual Hindu, kata “kumbha” dapat bermakna sebagai “perahu kosmik”, dalam artian, “Kumbha” dimaknai sebagai kendaraan utama doa untuk kehadiran energi ilahi selama upacara api Veda. Penjelasannya lebih lengkapnya dapat dibaca dalam artikel yang berjudul “Kumbha, The Cosmic Vessel” di laman creative.sulekha.com
Pemaknaan nama Bulukumba sebagai “gunung perahu” ini tentu saja mengingatkan kita dengan nama gunung Prau yang ada di Jawa Tengah. Meskipun umumnya ditulis ‘Prau’ namun harus diakui jika pelafalannya sangat dekat dengan kata ‘prahu’.
Dengan catatan panjang yang dimiliki Bulukumba sebagai rumah para “Panrita Lopi” (arti harfiahnya “pandita kapal”, dimaknai sebagai “orang yang pandai membuat kapal”), maka, pemaknaan nama Bulukumba sebagai “gunung perahu” saya pikir lebih mengena.
Dan perlu pula dicatat bahwa, jika melalui bahasa dapat tergambar ciri budaya suatu bangsa maka, keberadaan terminologi “Panrita Lopi” (Pendeta Kapal) dalam bahasa di Sulawesi Selatan bisa dikatakan menggambarkan betapa kental budaya maritim di wilayah ini.
Terkait juga dengan hal ini, di Sulawesi Selatan ada mitos bahwa kepandaian orang Bulukumba membuat kapal, berasal dari kepingan Kapal Nabi Nuh yang mereka temukan dan kemudian mereka pelajari.