Chhatra (Payung) Sebagai Simbol Chakravarti, dan Kaitannya dengan Sebutan “Payung Ri Luwu”

Reading Time: 3 minutes

Setelah dalam tulisan sebelumnya (Fakta Ratu Sima sebagai Penguasa Dunia yang Diramalkan Sang Buddha) saya mengulas Ratu Sima atau Simpurusiang sebagai Chakravarti sesungguhnya yang disebutkan Buddha Sakyamuni, maka dalam bagian ini saya akan mengulas fakta lain bahwa memang Tana Luwu menjadi pusat pemerintahan Chakravarti tersebut (Ratu Sima atau Simpurusiang).

Dalam buku Ancient India (1968: 166), Mahajan V.D, Seorang sejarawan terkenal dari India, menjelaskan bahwa pemerintahan penguasa seperti Chakravarti disebut ‘Sarvabhauma’, yaitu sistem kekaisaran utama.

Terminologi “Chakravarti” dianggap Mahajan V.D  sinonim dengan sebutan “Adhipatya”. Keduanya, menurut Mahajan V.D adalah sistem kekaisaran di mana kekuasaan raja memberi perlindungan yang berlebih kepada negara di luar perbatasannya, sebagai negara yang dominan.

Sementara dalam kamus Sanskrit Monier-Williams, sArvabhauma kurang lebih didefinisikan sebagai “kekuasaan atas seluruh bumi”, “kedaulatan atas seluruh bumi”, atau “kerajaan universal”. Kata “bhauma” sendiri bermakna: bumi, terestrial, duniawi, dan beberapa bentuk sinonim lainnya.





definisi Sarvabhauma dalam kamus online Monier-Williams (dicapture dari spokensanskrit.org)

Sebelum saya melanjutkan pembahasan  “sArvabhauma” atau pun “Bhauma”, terlebih dahulu saya ingin sedikit mengulas fakta bahwa salah satu tanda seorang cakravartin sebagai penguasa adalah “Chhatra” atau “payung”. 

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

Ini sejalan dengan pendapat DG Sircar dalam “Political Ideas in the Puranas” (1977: 69), bahwa: “kata cakra- vartin berarti sebuah kekaisaran… eka-Chatra (secara harfiah, seorang diri menikmati payung atau lencana kedaulatan), atau sarvabhauma (penguasa semua negeri, yaitu dunia bumi).

Fakta ini jelas berkorelasi dengan identitas Kedatuan Luwu yang identik dengan simbol “payung”. Luwu umum disebut dengan istilah “Pajung ri Luwu”. 

Jadi, Simpurusiang sebagai salah satu Raja dalam silsilah Kedatuan Luwu, dapat ditafsirkan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang Chakravarti.

Adapun mengenai kata “bhauma” (pada kata “sArva-bhauma”), saya melihat ini identik dengan kata “Beuma”, yaitu sebuah nama wilayah yang berada di kaki gunung Sinaji, kecamatan Basse Sang tempe, Kabupaten Luwu (Sulawesi selatan).

Wilayah ini (sekitar kaki gunung Sinaji) dalam beberapa tulisan sebelumnya telah saya identifikasi sebagai pusat kerajaan Holing (ini salah satu tulisan saya yang membahas hal tersebut: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi). 

Dan memang, terdapat cerita turun temurun yang berkembang di Luwu, Toraja, serta beberapa wilayah lainnya di Sulawesi, bahwa leluhur kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi, berasal dari kaki gunung Sinaji ini.

Desa Ledan di Kabupaten Luwu. Masuk dalam wilayah yang akrab disebut “Beuma” oleh masyarakat setempat. (dokpri)

Hari ini, toponim “Beuma” tidak digunakan lagi oleh pemerintah setempat sebagai nama wilayah administrasi secara resmi (apakah itu nama desa atau kecamatan), tetapi masyarakat lokal masih menggunakan nama “Beuma” untuk menyebut wilayah sekitar kaki gunung Sinaji ini, meliputi beberapa desa yang ada disekitarnya.