Ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Wangsit Siliwangi Adalah Ekspresi Esoterik atau Pernyataan Simbolis Suatu “Penglihatan”, Bukan Ramalan atau Prediksi”. Dalam bagian ini saya akan kembali membahas beberapa ungkapan dalam uga Siliwangi yang selama ini menjadi tanda tanya besar bagi banyak kalangan.
Sebelum saya memulai, saya ingin mengatakan bahwa, tampaknya plot atau alur cerita dalam uga Siliwangi bukan alur progresif, yang susunan kronologisnya berurutan dari awal hingga akhir, dengan kata lain, ada bagian di mana cerita dalam uga ini melompat jauh ke depan, lalu kemudian kembali memulai cerita dari belakang.
Bagian cerita yang saya perkirakan melompat jauh kedepan misalnya terdapat pada kalimat berikut yang ingin saya beri interpretasi…
Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya.
Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawene. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh ke belakang!
Interpretasi “Suara Minta Tolong” & “Gunung Halimun”
Saya melihat ada kemungkinan bahwa kalimat “suara minta tolong di tengah malam” merujuk pada suara rekaman minta tolong “korban km 50” yang baru-baru saja viral di media sosial. (Rekaman suara minta tolong tersebut dapat anda cermati kembali di channel Youtube Najwa Shihab)
Sementara “gunung halimun” merujuk pada wilayah perbukitan mega mendung. Dalam hal ini, “mega” yang berarti “awan” sebenarnya sinonim dengan “halimun” yang berarti “kabut.”
Jadi bentuk kalimat utuh yang mudah dipahami adalah: Suatu saat nanti, apabila (pada saat) tengah malam, terdengar suara minta tolong (yang berasal dari orang yang datang) dari gunung Halimun (mega mendung). Dengan susunan kalimat seperti ini, tentunya para pembaca telah dapat memahami bahwa yang dimaksud orang yang datang dari gunung halimun (mega mendung) merujuk pada “para korban km 50”.
Waktu yang disebutkan dalam uga Siliwangi pun sama dengan waktu kronologis peristiwa km 50, yakni “tengah malam”, bukan?
Interpretasi “Lebak Cawene”
Kalimat selanjutnya “Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawene. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir!” – kalimat ini saya perkirakan membentuk alur mundur, dengan asumsi bahwa yang dimaksud “orang yang mau menikah” dalam kalimat tersebut merujuk pada pernikahan putri HRS, karena acara pernikahan tersebut berlangsung beberapa hari/minggu sebelum peristiwa naas km 50 terjadi.
Identifikasi ini saya pikir cukup identik, oleh karena, kita ketahui, ramai di pemberitaan pada saat itu HRS mengundang ribuan orang untuk menghadiri pernikahan putrinya. Fakta ini tentunya senada dengan kalimat “Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah…”
Kalimat selanjutnya “Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir!” – telaga akan banjir dalam kalimat ini nampaknya merupakan perumpamaan untuk makna “bencana atau masalah”, ini nantinya akan merujuk pada masalah “kasus kerumunan” yang ditimbulkan dari banyaknya orang yang datang di acara pernikahan tersebut.
Ada pun mengenai ungkapan “Lebak Cawene,” saya perkirakan merujuk pada nama wilayah “Tanah Abang”.
Kata lebak dapat diartikan: lembah/ dataran/ tanah, sementara “Cawene” merujuk pada makna: “perawan/ gadis”. Jadi secara harfiah Lebak Cawene artinya: lembah gadis/perawan, atau tanah gadis/perawan.
Jika demikian arti dari “Lebak Cawene”, Lalu, mengapa saya mengidentifikasinya merujuk pada “Tanah Abang”?
Saya melihat Prabu Siliwangi ini selain memiliki kedalaman spiritualitas yang baik, ia sesungguhnya juga adalah seorang sastrawan, seorang intelektual yang berwawasan luas di zamannya.
Misteri yang terbangun pada frase “Lebak Cawene” dalam uga Siliwangi, yang selama ini membingungkan banyak kalangan, semata-mata timbul oleh karena makna sesungguhnya dari frase tersebut berlindung dibalik permainan “lawan kata” yang dalam ilmu bahasa kita kenal dengan sebutan “antonim”.
Contoh kata antonim: Atas ≠ Bawah; Besar ≠ Kecil; Jauh ≠ Dekat, Mahal ≠ Murah, Baru ≠ Lama, Bahagia ≠ Sedih, Kuat ≠ Lemah, Baik ≠ Buruk, Terang ≠ Gelap, Asli ≠ Palsu, dll.
Dengan mengidentifikasi “Lebak Cawene” sebagai suatu permainan “antonim” maka, dapat diduga lawan kata dari Cawene (gadis perawan) adalah “abang”. Jadi, Lebak Cawene ≠ Lebak Abang (Tanah Abang). (catatan: permainan “antonim” diulang kembali oleh Prabu Siliwangi pada ungkapan “memakai baju hitam.” Penjelasannya nanti ada di bagian bawah).
Yang menarik, di kabupaten Karawang, Jawa Barat, terdapat kecamatan Lemah Abang, yang mana kata “lemah” dalam bahasa Sunda dapat berarti: tanah/ bumi. (lihat di sini).
Kata ‘lemah’ dan ‘lebak’ bisa dikatakan memiliki makna yang sinonim, hanya saja dalam bahasa Sunda, makna kata ‘lebak’ sedikit lebih spesifik mengarah pada makna “tanah – yang berada di tempat yang lebih rendah”, atau dengan kata lain “lembah”.
Keberadaan toponim lemahabang di wilayah Karawang, Jawa Barat, di sisi lain, membuat identifikasi frase ‘lebak Cawene’ sebagai frase yang merujuk pada makna ‘Lebak Abang’, pada gilirannya tentu saja mestilah dipandang sebagai suatu bentuk upaya identifikasi yang tidak sekedar mengada-ada.
Interpretasi Sosok “Pemuda Berjenggot”
Dengan uraian di atas, akhirnya, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi siapa sesungguhnya “pemuda berjenggot” yang disebut Prabu Siliwangi dalam uganya.
Terutama karena ada bagian dalam uga Siliwangi yang mengaitkan Pemuda Berjenggot dengan Lebak Cawene, yaitu pada kalimat: …yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjenggot, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawene!
Bunyi narasi di atas dapat dimaknai bahwa “Pemuda Berjenggot datang menemui Budak Angon, lalu mengajaknya membuka lahan baru di Lebak Cawene”. Ajakan ini dengan sendirinya menempatkan Pemuda Berjenggot berposisi sebagai tuan rumah Lebak Cawene, karena, bukankah yang mengajak atau mengundang itu biasanya dilakukan seorang tuan rumah?
Demikianlah, keseluruhan uraian di atas pada akhirnya mengerucutkan upaya identifikasi Pemuda Berjenggot kepada sosok HRS. Ia yang membuat undangan acara pernikahan di Lebak Cawene (Tanah Abang). Bagi pembaca yang kurang cepat tanggap atau agak lambat loading, biar saya perjelas, kediaman HRS di Petamburan itu berada di wilayah kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Kalimat lain dalam uga Siliwangi yang menguatkan bahwa HRS adalah Pemuda berjenggot, yaitu:
Pada saat itu datang pemuda berjenggot, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjenggot ditangkap dimasukan kepenjara.
Kalimat “pada saat itu datang pemuda berjenggot“ merujuk pada momen kedatangan HRS dari Arab.
Pada kalimat “datangnya memakai baju hitam” – lagi-lagi Prabu Siliwangi bermain “antonim” (lawan kata). Hitam lawan katanya putih. Kita ketahui, hampir setiap kemunculannya, HRS senantiasa menggunakan pakaian berwarna putih.
Kalimat “sambil menyanding sarung tua” – lebih nyata mengarah ke identitas pribadi keluarga HRS. Karena menurut sejarahnya, sarung berasal dari Yaman. (ulasan sejarah sarung dapat di baca di sini)
Frase “Sarung tua” dapat dilihat sebagai bentuk analogi “sejarah sarung” yang asal usulnya tercatat berasal dari Yaman.
Jadi, pesan sebenarnya di balik kalimat “datangnya (…) sambil menyanding sarung tua” mengacu pada fakta bahwa: sejarah Sarung beriringan jalan (saling menyanding) dengan sejarah rumpun keluarga HRS sebagai keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Yaman.
Kalimat “…Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, …” dapat dikatakan merujuk pada upaya perbaikan akhlak yang sempat digelorakan HRS.
Kalimat “Alih-alih dianggap, pemuda berjenggot ditangkap dimasukan kepenjara.” merujuk pada situasi yang dialami HRS sekarang ini.
Demikianlah, beberapa bentuk identifikasi makna kalimat dalam uga Siliwangi di atas lebih jauh menunjukkan bahwa uga Prabu Siliwangi memang bukanlah suatu ramalan (prediksi) tapi merupakan suatu “penglihatan spiritual” tentang peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang.
Makasih kirimannya daeng, salama’ki
iye, sama2… salama ki juga
Hmmm…. Panji hitam dari timur
Terimakasih sudah berbagi.
“Salam kenal”
cahayadejavu.wordpress.com
~ iteung sibudak langit ~
iya, salam kenal juga….