Menyusul kematian Ratu Elizabeth II (pada 8 September 2022), Raja Charles III dinobatkan sebagai penerusnya dalam upacara resmi yang dilaksanakan pada hari Sabtu 6 Mei 2023 lalu.
Mahkota yang dikenakan Raja Charles dikenal sebagai ‘Mahkota St. Edward’, diambil dari nama Santo Edward Sang Pengaku, yang secara tradisional telah digunakan untuk memahkotai raja dan ratu penguasa Britania Raya dalam penobatan mereka sejak abad ke-13.

Versi mahkota St. Edward yang sekarang dibuat ketika Raja Charles II naik takhta pada tahun 1661. Mahkota ini terbuat dari emas padat, tinggi 30 cm, berat 2,23 kg, dan dihiasi dengan 444 batu permata dan batu semi mulia. Mahkota versi ini secara keseluruhan, memiliki berat dan bentuk yang sama dengan aslinya, tetapi lengkungannya bergaya Barok.
Setelah 1689, mahkota tersebut tidak digunakan lagi untuk memahkotai raja atau ratu Inggris selama lebih dari 200 tahun. Baru pada tahun 1911, tradisi pemahkotaan dihidupkan kembali oleh Raja George V, dan semua raja dan ratu berikutnya dimahkotai dengan menggunakan Mahkota St. Edward.
Warna Ungu Pada Mahkota St. Edward
Mahkota St. Edward yang digunakan dalam penobatan Raja Charles III terlihat menggunakan warna ungu. Warna ini digunakan tentu atas dasar pertimbangan simbolis dan sejarah.
Warna ungu sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang dan terkait erat dengan kekuasaan dan status sosial di banyak budaya dan peradaban.
Di Eropa, sejarah warna ungu dimulai pada zaman kuno seperti terlihat pada kekaisaran Romawi, di mana hanya kaum bangsawan saja yang boleh menggunakannya. Di Bizantium, penggunaan warna ungu sangat terkenal di kalangan bangsawan dan pejabat tinggi, serta merupakan warna resmi Kekaisaran.
Pliny the Elder (23 M – 79 M), dalam buku kesembilan dari Natural History-nya, menggambarkan kemegahan dan kemewahan yang diwakili oleh warna ungu: “Di Asia ungu yang terbaik adalah Tirus, […]. Untuk warna inilah kapak Roma memberi jalan di tengah kerumunan; inilah yang menegaskan keagungan masa kanak-kanak; inilah yang membedakan senator dari barisan berkuda; orang-orang yang tersusun dalam warna ini adalah orang-orang yang beribadah.”
Ketika Raja Persia Cyrus mengadopsi tunik ungu sebagai seragam kerajaannya, di Romawi, kaisar melarang warganya memakai pakaian ungu ketika menjalani hukuman mati, sementara hakimnya menggunakan jubah ungu ketika menjatuhkan hukuman. Pada zaman Nero, penyitaan properti bahkan hukuman mati dijatuhkan bagi mereka yang kedapatan berpakaian ungu kekaisaran.
Di masa Kekaisaran Bizantium, ungu bahkan dipuja dengan cara lebih militan. Penguasanya senantiasa mengenakan jubah ungu, serta menandatangani dekrit mereka dengan tinta ungu. Di Konstantinopel, kamar tidur kaisar dicat dengan warna ungu, dan putranya, yang lahir di ruangan tersebut, menikmati gengsi memiliki nama panggilan Porphyrogenitus : “lahir dalam warna ungu”.
Pewarnaan ungu terus menjadi simbol kekuasaan dan kekayaan di Eropa selama Abad Pertengahan dan Renaisans, dan digunakan oleh raja-raja dan keluarga kerajaan sebagai simbol kemuliaan mereka. Pada saat itu, pewarnaan ungu masih sangat mahal karena bahan pewarna alami yang digunakan untuk menciptakannya masih sangat sulit didapat.
Pada abad ke-19, pewarna sintetis untuk ungu ditemukan, membuat pewarnaan ini lebih terjangkau bagi banyak orang. Namun, warna ungu tetap menjadi warna yang kuat secara simbolis dan masih diidentifikasi dengan kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaannya dalam budaya populer, seperti dalam gaun pengantin ungu yang sering digunakan oleh selebriti dan di media sosial.
Dalam agama Kristen, warna ungu digunakan selama masa Prapaskah sebagai simbol penitensi dan persiapan untuk Paskah. Warna ini juga digunakan oleh uskup dan kardinal sebagai simbol dari kemuliaan gereja dan martabat mereka sebagai pemimpin rohani.
Fenisia, Bangsa Penemu Warna Ungu
Jika kita menoleh jauh ke belakang untuk mencoba mencari tahu dari semenjak kapan warna ungu ini digunakan, kita bisa menemukan laporan dari beberapa sejarawan yang menginformasikan bahwa orang-orang Fenisialah yang bertanggung jawab atas kemunculan warna ungu, dan ini berkontribusi pada reputasi mereka.
Bangsa Fenisia adalah salah satu peradaban kuno yang dikenal sebagai pencipta dan pengguna awal warna ungu dalam sejarah. Mereka menciptakan warna ungu dari sekresi siput laut yang ditemukan di perairan Mediterania, yang kemudian dikenal sebagai “Tyrian purple” karena kota Tyre di Lebanon yang menjadi pusat produksi dan perdagangan pewarna tersebut.
Orang-orang Yunani memberi mereka nama Fenisia (phoenix) sehubungan dengan warna ungu yang mereka buat sebagai salah satu spesialisasi utama mereka.
Dalam mitologi, legenda Penemuan warna ungu dikaitkan dengan dewa Melqart, dewa pelindung kota Tirus dan merupakan dewa utama orang Fenisia. Dalam legenda tersebut diceritakan bahwa ketika dewa Melqart sedang berjalan di pantai bersama peri Tyros, anjingnya menemukan cangkang kerang dan mengunyahnya. Rahangnya kemudian dipenuhi warna ungu.
Peri Tyros mengagumi warna tersebut dan meminta Melqart menghadiahkan kepadanya kain dengan warna yang indah seperti itu. Untuk menyenangkan kekasihnya, Melqart memerintahkan mengumpulkan kulit kerang untuk dijadikan bahan pewarna kain.
Proses pembuatan Tyrian purple sangat rumit dan memakan waktu. Secara tradisional, sekresi siput laut dikumpulkan, diambil dari bagian dalam kerang siput laut, dan kemudian diolah dengan bahan kimia tertentu untuk menghasilkan warna ungu yang tahan lama dan berkualitas tinggi. Pewarna alami ini sangat mahal dan hanya tersedia untuk kaum bangsawan dan orang kaya karena kesulitan dalam mengumpulkan dan memproses bahan baku.
Pewarnaan Tyrian purple menjadi sangat terkenal pada zaman kuno, dan menjadi simbol kemewahan, kekayaan, dan kekuasaan. Bangsa Fenisia memanfaatkan keunggulan mereka dalam produksi dan perdagangan pewarna ungu ini untuk memperoleh keuntungan sangat besar. Inilah salah satu faktor yang menjadikan Bangsa Fenisia dikenal sebagai bangsa yang kaya dan memiliki pengaruh yang besar dalam perdagangan dan politik di dunia kuno.
Dari sudut pandang arkeologis, sisa-sisa pewarna yang ditemukan di pantai timur Laut Mediterania, membuktikan bahwa industri pewarna ungu sudah ada di sana sejak zaman kuno. Pada tahun 1934, Franois Thureau-Dangin (1872-1944), arkeolog dan epigrafis Prancis menerbitkan teks runcing dari Ugarit, yang mengabarkan bahwa sekitar 3500 tahun yang lalu, seorang pedagang lokal mencatat tagihan sejumlah wol ungu kepada beberapa orang yang berhutang kepadanya. [Nina Jidejian, Tyr a travers les ages, 1996: 279]
Sebutan ‘Ungu’ dalam beberapa bahasa kuno
Dengan reputasi warna ungu yang demikian istimewa pada masa kuno, tentunya adalah hal yang menarik untuk mencari tahu sebutan warna ungu dalam berbagai bahasa yang digunakan bangsa besar di masa tersebut.
Maximillien de Lafayette Dalam bukunya “Etymology, Philology and Comparative Dictionary of Synonyms in 22 Dead and Ancient Language”, Menunjukkan bahwa dalam bahasa Aram dan Suryani (Aramaic/Syriac) warna ungu disebut ‘banawasha’. Sinonim dengan kata ‘Argwonoyo’ (juga dalam bahasa Aram dan Suryani), ‘Urjanu’ dalam bahasa Fenesia (Phoenicia), ‘Argowan’, ‘Ourjouwan’ dalam bahasa Arab (Arabic), merupakan derivasi dari bahasa Fenesia (Phoenicia): Urjanu dan Urr’jawa’nu.
Dalam situs Ensiklopedia Yahudi www.jewishencyclopedia.com dijelaskan bahwa ‘ungu-merah’ dalam bahasa Ibrani disebut “argaman” sama dengan sebutan dalam bahasa Aram “argewan”, sementara itu ‘ungu-biru’ atau ungu dalam bahasa Ibrani disebut “tekelet” sementara dalam bahasa Aram disebut “tikla”.
Yang menarik, sebutan ‘tikla’ dalam bahasa Aram untuk warna ungu, tampak identik dengan sebutan ‘patikala’ yaitu sebutan untuk kecombrang dalam bahasa Tae di Sulawesi – yang memang berwarna ungu. (lihat gambar di bawah).

Jika anda cermat memperhatikan, sebenarnya, sebutan warna ungu dalam bahasa Aramaic/Syriac yakni ‘banawasha’ yang sinonim dengan kata ‘Argwonoyo’ – lalu beberapa bentuk morfogi: argaman (Ibrani) – argewan (Aram) – Argowan/ Ourjouwan (Arabic) yang merupakan bentuk derivasi dari bahasa Fenisia “Urjanu/ Urr’jawa’nu” sangat jelas menunjukkan adanya nuansa Jawa.
Kiranya, ada baiknya jika para peneliti dan ahli bahasa di Indonesia sedikit mencurahkan perhatiannya pada subjek ini. Bisa jadi, hasil penelitian dari aspek Linguistik historis ini dapat menguak sisi kebesaran bangsa Indonesia di masa lalu, terutama kemungkinan keterkaitan antara bangsa Fenisia dengan eksistensinya di wilayah nusantara pada masa kuno.
One Comment on “Warna Ungu Pada Mahkota King Charles III dan Jejak Sejarah Panjang Warna Ungu Sebagai Warna Utama Golongan Ningrat di Eropa”
Comments are closed.