Dalam tulisan Laila Chamsi-Pasha (2008) bertajuk “A study of the Islamisation of South Sulawesi through an analysis of the grave of the second Muslim ruler of Luwuq” – (red: Sebuah studi tentang Islamisasi Sulawesi Selatan melalui analisis kuburan penguasa Muslim kedua Luwuq), diurai penjelasan mengenai makam Raja Luwuq Sultan Abdullah Muhiddin (memerintah c.1611-36), yang diantaranya menyebutkan bahwa pada makam tersebut terdapat motif yang menyerupai cabai. berikut ini kutipan:
Walaupun saya menyebut motif kedua di kuburan sebagai “cabai” karena kemiripannya dengan buah [tersebut], [namun] impor cabai ke Indonesia tidak terjadi sampai awal abad keenam belas ketika mulai digunakan dalam masakan (Robinson 2007).
Meskipun secara teknis memungkinkan (kuburan berasal dari seabad setelah diperkenalkan) saya menduga bahwa desainnya bukan cabai, tetapi saya akan terus menyebutnya seperti itu.
Sesuai dengan tema umum vegetasi yang tampaknya telah merangkum motif pada bingkai pintu masuk, saya berusaha untuk memastikan asal-usul “cabai” dari sumber Jawa yang sama tetapi ini terbukti sia-sia.
Motif tersebut adalah desain yang lebih sulit untuk dilacak karena kelangkaan penampilannya dalam arsitektur Indonesia. Tidak umum menemukan desain daun tunggal, tidak melekat pada sulur tumbuhan seperti halnya yang ada pada “cabai” kita.
Terkait keraguan Laila Chamsi-Pasha pada pola cabai di makam, karena merujuk pada pendapat Robinson (2007): “the importation of chilli peppers into Indonesia did not occur until the early sixteenth Century” – saya pikir itu tidaklah perlu terjadi, karena pada naskah kuno Jawa Nagara kretagama (1365) jelas terdapat frase “lombok mirah” yang artinya “lombok merah” – dengan demikian ini dapat serta merta menyanggah pendapat Robinson yang mengatakan cabai atau lombok baru masuk ke Indonesia di kisaran abad keenam belas.
Saya telah menelusuri sumber tulisan Robinson tersebut pada situs time – yang dapat dikatakan bahwa tulisan tersebut terkesan subjektif, dan hanya semata-mata didasari pada sudut pandang faktor para pelaut portugis saja yang pada masa lalu memungkinkan penyebaran cabai di dunia dapat terjadi. Sayangnya, pendapat ini kemudian menyebar luar dalam banyak artikel.
Adapun Kalimat yang berkesan ragu yang sempat dicetuskan Laila Chamsi-Pasha di bagian awal, yaitu: “…saya menduga bahwa desainnya bukan cabai, …” – di bagian akhir, pada dasarnya ia kembali menguatkan pendapatnya dengan mengungkap ciri khusus yang hanya ada pada tumbuhan cabai, yaitu: “…Tidak umum menemukan desain daun tunggal, tidak melekat pada sulur tumbuhan seperti halnya yang ada pada cabai.”
Pada bagian lain tulisannya, Laila Chamsi-Pasha mengatakan bahwa Dalam batik Jawa, motif tumbuh-tumbuhan digunakan secara luas. Di antara banyak pola batik tersebut, pola “semen” memperlihatkan keberkaitan dengan motif kuburan di Malangke karena terdiri dari “pucuk muda dedaunan”. Dalam filsafat Hindu-Jawa, pola semen yang digunakan dalam batik adalah dianggap kelas atas dan hanya dikenakan oleh aristokrasi (Kerlogue 2004: 76).
Adanya motif sulur cabai di makam raja Luwu yang memerintah di sekitar awal abad ketujuhbelas ini, dapat kita lihat sebagai sebuah gambaran bahwa objek cabai atau lombok pernah eksis sebagai suatu yang bernilai dan dihargai secara khusus di dalam tradisi masyarakat Luwu ataupun masyarakat Sulawesi pada umumnya. Kekhususan itu dapat kita nilai dari fakta bahwa menurut Laila Chamsi-Pasha hanya terdapat dua jenis motif pada makam tersebut, yaitu: motif awan dan motif sulur cabai saja.
Tentunya dapat kita pahami bahwa makam seorang Raja pada masa lalu tidaklah sembarang dibangun. Setiap detail tentunya dipertimbangkan dan sarat makna filosofis.
bisa dikatakan, ini adalah Fakta arkeologis untuk sebutan “Lombok Merah” sebagai nama pulau Sulawesi di masa kuno yang sebelumnya telah saya bahas di artikel ini: Lombok Merah (Cella Passe), Nama Kuno Pulau Sulawesi
Dalam artikel tersebut saya menyatakan bahwa toponim ‘Lombok Merah’ yang disebut dalam Pupuh 14 Kakawin Nagara Kretagamaa, merujuk pada pulau Sulawesi. Ini penggalan kalimat tersebut: “Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. (…) “
Kuat dugaan saya bahwa ‘Lombok Merah’ ini ada keterkaitan dengan toponim “She-Li Fo-she” yang ada tertulis dalam kronik Cina untuk menyebut suatu negeri di laut selatan (Nusantara).
Selama ini, para ahli sejarah pada umumnya, bisa dikatakan, telah sepakat bahwa She-Li Fo-she merupakan bentuk transkripsi dari Sriwijaya. Namun, izinkan saya untuk memberi pandangan alternatif untuk subjek ini.
Frase ‘lombok merah’ jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Tae (bahasa daerah di sulawesi selatan), bentuknya menjadi ‘Cella Basse (Passe)’ (Cella = merah; Basse = Lombok).
Dapat kita lihat bahwa struktur fonetis She-Li Fo-she dengan Cella Passe memperlihatkan keidentikan. ‘She-li‘ identik secara fonetis dengan ‘cella‘, begitu pula antara fo-she dengan Basse (passe).
Kata ‘Basse’ hingga hari ini masih dapat kita temukan penggunaannya pada toponim Basse Sang Tempe di wilayah Luwu.
Jika She-li Fo-she dapat diterima sebagai bentuk transkrip dari Cella Basse maka, toponim ‘Basse Sang’ mungkin dapat kita lihat sebagai bentuk transkripsi dari San-fo-tsi. Dalam kronik Cina memang ada diisyaratkan perubahan nama dari She-li Fo-she menjadi San –fo-tsi.
Dari kata “Cella Basse” inilah nantinya kata ‘celebes’ muncul, yang kemudian berubah lagi menjadi ‘sulawesi’.
Begitu pula dengan ungkapan filosofis “siri na pesse” yang dikenal dalam tradisi Bugis Makassar, sangat mungkin juga berasal dari frase “Cella Basse (Passe)”.
Bahkan, ikat kepala berwarna merah yang disebut “Passapu” yang sangat sering terlihat digunakan dalam tradisi Makassar, sangat mungkin adalah ekspresi estetika yang berasal dari konsep “Passe” (lombok). Secara fonetis kata ‘Passapu’ ada kesamaan dengan ‘Passe’, dan warna merah serta bentuk ikat kepala tersebut bisa jadi adalah simbolisasi dari “lombok merah”.