Istilah ‘Candi’ dari Nama ‘Candika’ Sang Dewi Kematian

Reading Time: 3 minutes

Ada banyak pendapat yang muncul terkait etimologi ‘candi’, tetapi dugaan bahwa istilah ‘candi’ berasal dari kata “Candika” yang merupakan salah satu manifestasi dari Durga sebagai dewi kematian (Soekmono, Dr R., 1973) tampaknya adalah pendapat yang paling senada dengan status sundaland (pulau jawa khususnya) sebagai pusat “negeri selatan”, “dunia bawah” dan atau “alam kematian” di masa kuno.

Selama ini, istilah ‘candi’ dipahami secara umum – merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha. Dan bisa dikatakan istilah ‘candi’ ini umumnya hanya dikenal dan digunakan di wilayah Indonesia dan Malaysia saja. Di India dan negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, istilah ini tidak digunakan.

Di Kamboja dan Thailand istilah ‘wat‘ (angkor-wat misalnya) dan ‘prasat‘ (berasal dari bahasa Sansekerta prāsāda)  adalah istilah yang lebih umum digunakan untuk menyebut bangunan kuno “benteng”, “istana”, atau pun “kuil”.

Pertanyaannya, mengapa istilah ‘candi’ hanya digunakan di wilayah nusantara saja?

Saya melihat bahwa pendapat yang menyatakan istilah ‘candi’ berasal dari nama ‘candika’ (salah satu dari nama dewi Durga sebagai dewi kematian) adalah merupakan pintu jawabannya.



Dalam banyak artikel sebelumnya saya telah membahas bahwa Nusantara (khususnya pulau Jawa), pada masa kuno, adalah pusat dari negeri selatan. Dan bahwa sebutan ‘sunda’ sesungguhnya berarti: selatan.

Dalam konsep kosmologi di masa kuno, wilayah selatan dianggap sebagai “dunia bawah” dan dimaknai sebagai “alam kematian”.

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

Dalam konsep keagamaan suku Maya misalnya, terlihat bahwa sumbu utara-selatan memiliki arti yang sangat penting. Utara dimaknai “surgawi”, dan selatan dimaknai “dunia bawah” atau “alam kematian”.

Capture buku “Human Sacrifice, Militarism, and Rulership: Materialization of State Ideology at the Feathered Serpent Pyramid, Teotihuacan” (Saburo Sugiyama, 2005: 35)

Dalam konsep Lokapala (tradisi Hindu kuno), empat wilayah menurut arah mata angin dikuasai dan dijaga oleh empat figur dewa: Dewa Indra sebagai dewa penjaga arah timur, Dewa Kubera sebagai dewa penjaga arah utara, Dewa Varuna sebagai dewa penjaga arah barat, dan Dewa Yama sebagai dewa penjaga arah selatan.



Dalam artikel “Ini Asal-Usul Nama Jawa Menurut Konsep Lokapala (bagian 2)” saya telah menjelaskan bahwa dalam agama Hindu, Yama atau Yamaraja, dikenal sebagai penguasa alam kematian.

Status Dewa Yama dalam Lokapala sebagai “penjaga selatan” dan sebagai “penguasa alam kematian”, bisa dikatakan selaras dengan selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. Bahkan, banyak sejarawan menganggap Yama merupakan analogi dari Hades, dewa Yunani yang menguasai dunia bawah. 

Dalam artikel tersebut saya juga menyatakan pendapat bahwa wilayah selatan yang menjadi wilayah kekuasaan dewa Yama, mestinya tidak hanya dimaknai sebagai “dunia bawah”, lebih dari pada itu, ia merujuk suatu wilayah geografis tertentu, sebagaimana dewa Kubera yang menempati negeri Cina di Utara, dan Dewa Varuna yang menempati Bharat yang kita kenal sebagai India pada hari ini.

Dalam artikel tersebut saya juga telah memberi kesimpulan bahwa wilayah selatan sebagai wilayah Dewa Yama sang dewa kematian berpusat di pulau Jawa, yang di masa yang sangat kuno pernah lebih dikenal dengan sebutan ‘sunda’ yang berarti: selatan.

Pertimbangan “sunda” kemungkinan berarti “selatan”, didasari adanya kata “sunthaz” dalam bahasa Proto-Germanic, yang berarti: selatan. Di sisi lain, dalam bahasa Iceland, terdapat kata “sund” yang berarti “selat”.