Sam Bin Nuh
Sam adalah putra nabi Nuh. Dia dianggap yang tertua karena dia selalu yang pertama disebut setiap kali Alkitab menyebutkan nama anak-anak Nuh.
Sam adalah ayah dari Elam, Asshur, Arphaxad, Lud, dan Aram.
Nama ‘Sam’ atau ‘Shem’ atau ‘Sem’ dalam bahasa Ibrani berarti: “Nama” (name); “Sebutan” (appellation). Secara tinjauan ilmu fonetis, makna nama Sam menurut bahasa Ibrani ini, dapat kita lihat terkonfirmasi kebenarannya oleh kata ‘sanga’ dalam bahasa Tae (bahasa tradisional yang digunakan di Sulawesi Selatan).
Dalam bahasa Tae, sanga’ dapat berarti “nama” dapat pula berarti “kata atau sebutan” (tergantung dalam bentuk kalimat bagaimana kata tersebut digunakan).
Contoh kalimat pertama: apa na sanga? – artinya: apa katanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “kata”)
Contoh kedua: inda sanganna? – Artinya: siapa namanya? (pada contoh kalimat ini “sanga” bermakna “nama”).
Lalu mengapa saya sebutkan “secara tinjauan ilmu fonetis” nama Sam identik dengan kata ‘sanga’ dalam bahasa Tae’?
Banyak literatur yang menunjukkan sosok Sam, dalam perjalanan waktu dimitologisasi sebagai dewa pelindung oleh bangsa-bangsa maritim di masa kuno.
Ciri khas bahasa bangsa maritim adalah setiap suku kata berakhir dengan vokal, sebagaimana yang diungkap John Inglis (seorang misionaris asal Skotlandia yang melakukan perjalanan ke Vanuatu antara tahun 1850-1877).
Jadi, dalam bahasa bangsa maritim, nama Sam mestilah berbentuk ‘Sama’.
Sebagai informasi tambahan, suku bangsa laut bajoe, menyebut diri mereka sebagai ‘orang sama’ karena mereka percaya adalah keturunan dari Sam bin Nuh. Ada pun sebutan ‘bajoe’ merupakan panggilan orang luar (outsider) kepada mereka.
Bentuk ‘sama’ inilah yang dapat kita lihat mengalami perubahan fonetis dengan kata ‘sanga’ dalam bahasa Tae. Yaitu pada fonetis m yang berubah menjadi ng.
Demikianlah, bisa dikatakan, hanya kata sanga’ dalam bahasa Tae saja (bahasa yang masih digunakan di dunia modern) yang masih dapat mengkonfirmasi kebenaran makna nama Sam menurut bahasa Ibrani. Yang juga menyerupai adalah bentuk šumu dalam bahasa Akkadia kuno.
Sam bin Nuh Dimitologisasi menjadi dewa
Seperti halnya Yafet yang dimitologisasi menjadi dewa dalam banyak tradisi bangsa di masa kuno – dewa Iapetos atau Iapetus (dari nama Yapheth) dalam tradisi bangsa Yunani kuno; Pra-Japati di India, atau Jupiter pada bangsa Romawi, sosok Sam bin Nuh pun juga mengalami mitologisasi.
Dalam perjalanan waktu ribuan tahun, sosok Sam yang termitologisasi, terus mengisi alam spiritual bangsa-bangsa dunia kuno.
Oleh bangsa laut Phoenicia, sosoknya dijadikan sebagai dewa pelindung, dan dikenal dengan nama dewa Melqart. Tapi, bentuk mitologisasi yang paling terkenal dan bertahan sangat lama, adalah sebagai dewa Yama, yang dalam konsep kuno lokapala disebut sebagai dewa pelindung arah selatan.
Dewa Yama Penjaga Arah Selatan
Dalam agama Hindu, Yama juga disebut sebagai Yamaraja. Merupakan salah satu nama dewa dalam naskah Rigveda. Ia dikenal sebagai penguasa alam kematian.
Statusnya dalam Lokapala sebagai Penjaga Arah yang mewakili arah selatan, bisa dikatakan selaras dengan arah selatan yang dalam konsep kosmologi kuno merepresentasi alam bawah atau alam kematian atau neraka. Bahkan banyak sejarawan menganggapnya merupakan analogi dari Hades, dewa Yunani yang menguasai dunia bawah.