Difusi Gagasan Dalam Mitologi Bangsa Matahari di Masa Kuno

Reading Time: 3 minutes

Mitologi adalah cerminan karakter budaya suatu bangsa. Merupakan refleksi penghayatan spiritual, yang bercerita apa adanya tentang seperti apa kehidupan orang-orang dari bangsa itu di masa lampau. Ini fakta tinjauan antropologi yang tidak dapat disangkal.

Jika dalam mitologi Mesir disebutkan Ra (Dewa Matahari Mesir) setiap hari berlayar dengan “perahu siang” melintasi langit, dan pada malam hari berpindah ke “perahu malam” untuk berlayar melintasi duat (wilayah misterius yang terkait dengan kematian dan kelahiran kembali) maka, hal itu menunjukkan fakta bahwa bangsa Mesir kuno memang adalah bangsa maritim (laut).

Sementara jika dalam mitologi Yunani kuno, Helios (Dewa Matahari Yunani) setiap hari mengendarai kereta kuda melintasi langit, itu menunjukkan fakta bahwa bangsa Yunani kuno lebih berkarakter kontinental (daratan).

Penggambaran dalam mitologi India sama dengan mitologi Yunani. Dalam mitologi India dewa Surya (dewa Matahari) setiap hari melintasi langit ke arah barat menggunakan kereta kuda.



Demikianlah, orang-orang di dunia kuno tidak akan mengatakan dewa mataharinya melintasi langit menggunakan perahu jika mereka sendiri tidak tahu seperti apa itu perahu dan bagaimana menggunakannya. Begitu juga orang-orang yang aktifitas hidupnya lebih banyak di lautan tidak akan mengatakan dewa mataharinya mengendarai kereta kuda, alat transportasi yang tidak akrab dengan mereka.



Pertanyaan pentingnya adalah: Dari mana sebenarnya konsep Dewa Matahari yang tiap hari melintasi langit ini berasal?

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

Meskipun konsep kosmologi dewa matahari kita temukan dalam budaya bangsa Mesir kuno dan Yunani kuno tetapi, sejauh yang dapat saya telusuri, hanya di dalam naskah suci Hindu (Rig Veda) saja hal ini dapat kita temukan jawabannya.

Dalam Rgveda himne 1.115 disebutkan: Surya sebagai penghormatan khusus untuk “matahari terbit” dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan. (Samuel D. Atkins, A Vedic Hymn to the Sun-God Sūrya, 1938)

A.A. Macdonell dalam bukunya “Mitologi Veda”, memberi uraian sebagai berikut:

Dari 10 buku hymne Rigveda, pada umumnya kalau bisa dikatakan keseluruhannya, dapat dikatakan dikhususkan bagi perayaan Surya. Tidak mungkin untuk mengatakan seberapa sering namanya muncul. Dalam banyak kasus diragukan apakah hanya fenomena alam yang dimaksudkan atau personifikasinya. Karena namanya menandakan bola matahari juga, Surya adalah dewa matahari yang paling konkrit, hubungannya dengan orang-orang yang menonjol dengan pencapaian cemerlang (orang termasyhur) tidak pernah hilang.



Di Atharvaveda ia disebut ‘penguasa mata’ dan dikatakan sebagai satu-satunya mata makhluk yang diciptakan dan untuk melihat melampaui langit, bumi, dan air. Dia melihat jauh, melihat semua hal, ia adalah penyaksi seluruh dunia, melihat semua makhluk berikut perbuatan baik dan buruk dari manusia.

Dengan dibangkitkan oleh Surya, manusia fokus pada tujuannya serta melakukan tugas mereka. Umum bagi semua manusia, bahwa Surya tampil sebagai penggugah kesadaran mereka. Dia adalah jiwa atau penjaga semua yang bergerak.

Dari bunyi Rgveda himne 1.115 kita dapat menduga bahwa di masa yang paling awal, konsep pemujaan matahari (oleh bangsa matahari atau wangsa surya) muncul dari filosofi tentang kedatangan sosok pembawa cahaya (ilmu pengetahuan) yang menghilangkan kegelapan (kebodohan).

Lalu, siapakah sosok pembawa cahaya di masa paling awal itu?

Dari literasi tradisi hindu kita juga temukan petunjuk bahwa di masa lalu, Batara Guru (personifikasi Nabi Adam) dikenal sebagai guru yang paling awal.



Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa. Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language).

Demikianlah, dari yang awalnya sebagai personifikasi Nabi Adam sebagai sosok yang membawa cahaya (ilmu pengetahuan) di muka bumi, konsep dewa matahari kemudian mengalami difusi gagasan dan terserap ke dalam tradisi berbagai bangsa di dunia kuno.

Difusi gagasan konsep dewa matahari ini terus berlangsung dalam kurun waktu ribuan tahun, yang berarti, selama itu pula lah eksistensi Bangsa Matahari (Wangsa Surya) berlangsung di muka bumi.

Bahkan dengan tinjauan bahasa terkait nama Suwa’ yang disebut dalam Al Quran sebagai berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh, kita mendapat gambaran bahwa konsep dewa matahari ini tampaknya sudah berlangsung bahkan sebelum banjir bah di zaman nabi Nuh. Dalam artian, bangsa Matahari sudah menunjukkan gejala keberadaannya di masa yang sangat awal itu.

Dalam bahasa chichewa yang digunakan oleh orang Chewa (merupakan bagian dari etnis Bantu, salah satu etnis terbesar di wilayah Afrika tengah dan selatan) terdapat kata “dzuwa” yang berarti “matahari”.



Dapat kita lihat bahwa “Dzuwa” yang berarti matahari dalam bahasa chichewa, memiliki keterkaitan dengan salah satu nama berhala yang disembah kaum Nuh, disebutkan dalam Al Quran surat Nuh ayat 23: Dan mereka berkata “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr“.

Berdasarkan hal ini, kita dapat mengasumsikan bahwa suwa’ yang disembah oleh kaum Nabi Nuh bisa jadi adalah nama lain untuk Matahari, dengan kata lain, salah satu yang disembah oleh kaum Nabi Nuh pada masa itu adalah “matahari” atau sosok yang dipersonifikasikan sebagai “matahari” yang kehadirannya membawa cahaya (ilmu pengetahuan) yang mencerahkan.

Asumsi ini sejalan dengan riwayat yang mengatakan bahwa Wadd, Suwa’, Yagus, Ya’uq dan Nasr yang disembah kaum nabi Nuh sesungguhnya adalah orang saleh, yang setelah meninggal dunia, Iblis lalu datang menggoda manusia agar membuat patung-patung orang saleh itu agar nanti akan terus dapat dikenang.

Dan tentu saja nama Suwa’ atau pun Dzuwa bisa secara jelas dapat kita lihat memiliki keidentikan dengan nama Siwa yang dalam berbagai literasi kuno kadang dikaitkan dengan Dewa Surya atau Dewa Matahari.