Pada bagian 1: Sulawesi Disebut K’ULUN di Kronik Cina dan GURUN di Nagarakretagama, telah saya urai pendapat bahwasanya di suatu waktu pada masa lalu, pulau Sulawesi pernah dikenal dengan sebutan K’u-lun (dalam kronik Cina), dan sebutan Gurun (dalam Kitab Nagarakretagama).
Secara fonetis, memang, nyata dapat dilihat bahwa ku-lun adalah bentuk transkripsi orang Cina untuk kata ‘gurun‘. Fonetis g berubah menjadi k dan fonetis r berubah menjadi l.
Selain menyebut nama Gurun, pupuh 14 Kakawin Nagarakretagama juga menyebut ‘lombok merah‘.
Berikut ini kutipan Pupuh 14 Kakawin Nagarakretagama: Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. (…) [naskah Nagarakretagama dapat dibaca di sini]
Bunyi kalimat dalam pupuh 14 Kakawin Nagarakretagama ini secara spesifik menyatakan bahwa ‘Lombok Merah’ adalah nama lain dari ‘gurun’.
Terkait penyebutan “lombok merah” dalam Kakawin Nagarakretagama, saya melihat sebutan ini tampaknya ada keterkaitan dengan nama “Shi-li Po-chi” yang ada dalam kronik Cina untuk menyebut suatu wilayah di laut selatan.
Para ahli sejarah selama ini, pada umumnya bisa dikatakan telah sepakat bahwa Shi li Po chi merupakan bentuk transkripsi dari Sriwijaya. Namun, izinkan saya untuk memberi pandangan alternatif untuk subjek ini.
Alasan utama saya didasari pada sebutan “lombok merah” dalam bahasa Tae (bahasa daerah di sulawesi selatan), yaitu: Cella Passe (Cella = merah; Passe = Lombok).
Dapat kita lihat bahwa struktur fonetis “Shi-li Po-chi” dengan “Cella Passe” memperlihatkan keidentikan. ‘Shi-li‘ dan ‘cella‘ memiliki struktur fonetis yang berpotensi mengalami perubahan fonetis, begitu pula antara po-chi dengan passe.
Jika Hipotesis ini dapat diterima, pada giliran selanjutnya, ini dapat dilihat sebagai Fakta yang menunjukkan bahwa negeri Shi-li Po-chi yang didatangi oleh I-Tsing tidak lain adalah pulau Sulawesi.
Dalam catatan perjalanan I-Tsing pada tahun 671, ia menjelaskan bahwa setelah 20 hari perjalanan pelayaran dari titik keberangkatannya di Kwang-tung, kapalnya mencapai Kota Fo shih di negeri Shi-li Po-chi. Di sana ia singgah selama enam bulan. setelah itu, atas bantuan Raja Shi-li Po-chi (ia diizinkan berlayar menggunakan kapal kerajaan), ia kemudian berangkat ke melayu (yang pada bagian ini dia mengatakan: “yang sekarang menjadi bagian Shi-li Po-chi”) lama pelayaran itu, disebutkan selama 15 hari pelayaran. (Slamet Muljana. Sriwijaya: 1960)
Keberangkatan I-Tsing dari Shi-li Po-chi (pulau Sulawesi) menuju melayu yang ditegaskannya bahwa “melayu itu telah menjadi bagia dari Shi-li Po-chi” membuka cakrawala hipotesis lain bahwa, sangat mungkin Minanga Tamwa(r) yang diriwayatkan dalam prasasti Kedukan Bukit sebagai titik awal perjalanan Siddhayatra Dapunta Hyang menuju Melayu, sesungguhnya letaknya di Pulau Sulawesi.
Berikut ini isi piagam kedukan bukit: (a) tanggal 11 bulan terang, waisaka Dapunta Hyang naik perahu. (b) tanggal 7 bulan terang, Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa(r) dengan tentara. (c) Tanggal 5 bulan terang bulan, Asada Dapunta Hyang datang membuat wanua. (d) ….wihara ini di wanua ini. (Slamet Muljana. Sriwijaya: 1960)
Dalam catatan I-Tsing disebutkan bahwa pelayaran dari negeri Shi-li Po-chi ke tanah Melayu ia tempuh dalam waktu 15 hari, sementara untuk perjalanan Dapunta Hyang membutuhkan waktu sekitar 27-28 hari. Perbedaan waktu ini dapat diduga disebabkan oleh karena Dapunta Hyang membawa rombongan pasukan dalam jumlah yang besar. Dalam prasasti kedukan bukti disebut lebih dari 20,000 pasukan.
Berikut ini bunyi prasasti Kedukan Bukit: