Tinjauan berikutnya adalah melalui metode pencermatan morfologi Bahasa dengan menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari morfologi kata “Mori” adalah: poni – poli – pori – podi – poti – boni – boli – bori – bodi – boti – woni – woli – wori – wodi – woti – moni – moli – mori – modi – moti.
Dari kesemua variasi bentuk yang dihasilkan, yang perlu mendapat perhatian adalah: bori, poni, dan boni.
“Bori” identik dengan kata “bore” yang dalam bahasa Welsh berarti “Pagi”.
“Poni” identik dengan bentuk dasar nama bangsa Phoenicia. Bentuk nama Phoenicia dalam Yunani kuno adalah “Phoinikes”, sementara dalam Latin adalah “Poeni”. Dari kedua bentuk ini, dapat kita asumsikan bentuk sederhananya adalah “Poni”.
Nama “poni” yang sesungguhnya bermakna “pagi” yang digunakan oleh bangsa Phoenicia, jelas tergambar dari penamaan kawasan mereka bermukim di ujung timur Laut Mediterranean, yang menghadap ke arah barat, yang disebut sebagai “Laut Matahari Terbit”. Jadi, jelas terlihat bahwa atribut “pagi” melekat sebagai jati diri orang Phoenicia. Senantiasa mereka bawa kemana saja mereka pergi.
Bentuk “boni” dapat kita temukan digunakan sebagai istilah dalam tradisi komersial di wilayah India Utara dan Pakistan. Di wilayah ini, “boni” merujuk pada “penjualan pertama di pagi hari.”
Bentuk “boni” dapat pula kita identifikasi memiliki keterkaitan dengan nama “teluk bone” yang terdapat di pulau Sulawesi. Dalam peta-peta eropa kita jumpai nama teluk bone tertulis : “Gulf of Boni”. Dan dapat diduga jika nama “Boni” atau “bone” ini ada keterkaitan dengan makna pagi, sebagaimana identifikasi sebelumnya dalam artikel Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong bahwa wilayah ini yang berada tepat di garis bujur 120 derajat, menjadi asal usul disebutnya kawasan nusantara secara umum sebagai negeri pagi pada masa kuno.
Demikianlah, uraian di atas kiranya telah dapat mengantar kita untuk memahami jika arti dari nama “nene-mori” sesungguhnya adalah “nenek pagi”.
“Nenek mori” atau “Nenek pagi” yang dalam cerita rakyat di sekitar pegunungan Latimojong disebut bersahabat dengan Anoa dan memiliki keahlian khusus dalam berburu, tentunya dapat kita lihat identik dengan uraian tentang dewi ushas dalam Rigveda yang disebut : ibu dari sapi – seorang yang suka sapi – pemburu yang terampil. Karena faktanya, Anoa yang oleh masyarakat lokal latimojong disebut “tedong malillin” (kerbau gelap) memang merupakan jenis kerbau, dan tentunya sejenis pula dengan sapi.

Jadi, hipotesis yang bisa kita munculkan dari keseluruhan uraian ini adalah bahwa bisa jadi Dewi fajar, atau Dewi Pagi, atau dalam tradisi hindu dikenal sebagai Dewi Ushas, tidak lain adalah sosok “Nenemori” yang dikenal dalam cerita mitos masyarakat sekitar pegunungan Latimojong hidup di wilayah pegunungan Latimojong pada Zaman dahulu kala. Ia berasal dari wilayah ini, yang kemudian dalam kurun waktu ribuan tahun sosoknya yang melegenda terbawa hingga ke wilayah dunia barat.
Sosoknya yang pada awalnya adalah manusia biasa yang dikaruniai memiliki kemampuan atau kelebihan khusus lambat laun dalam masa ribuan tahun kemudian termitologisasi menjadi sosok Dewi yang disembah.
2 Komentar
Pingback: Petunjuk Menemukan Tanah Suci “Shambala” – Fadlybahari
Pingback: Ini Asal-Usul Nama “Jawa” Menurut Konsep Lokapala (bagian 2) – Fadlybahari