Misteri Pegunungan Latimojong sebagai tempat asal mula Dewi Pagi
Keterkaitan Pegunungan Latimojong dengan sosok Dewi Pagi, akan semakin menguat setelah kita mencermati lebih jauh profil Dewi Ushas (Dewi Fajar atau Dewi Pagi) yang dalam Rigveda diilustrasikan sebagai berikut…
Ia dianalogikan bagai “Matahari terbit di pagi hari yang menghilangkan gelap malam”, untuk melukiskan betapa ilmu yang telah diajarkan (sang Dewi) bagaikan cahaya matahari pagi yang hadir menghilangkan gelap malam (kebodohan).
Kedatangannya yang konsisten di pagi hari membangkitkan semua kehidupan, mengatur segala sesuatu bergerak, mengirim semua orang pergi untuk melakukan tugas mereka.
Pada hymne 1.92 ia disebut “ibu dari sapi” dan seorang yang suka sapi. Dalam hymne ini ia juga digambarkan sebagai pemburu yang terampil.
Berikut ini screenshoot dari buku “Hindu Goddesses: Visions of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition” pada bagian yang membahas mengenai dewi Ushas

Makna nama dan profil Dewi Pagi yang diuraikan dalam Rigveda di atas, sesungguhnya dapat kita temukan keidentikannya dengan mitos “Nenemori” yang merupakan cerita rakyat di sekitar pegunungan Latimojong.
Saat ini Nenemori merupakan nama puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong.
Asal usul nama ini oleh masyarakat lokal dipercaya merupakan nama seseorang nenek yang di zaman dahulu kala hidup di puncak gunung Latimojong bersama cucunya yang bernama Mori.
Nenek Mori dipercaya memiliki kemampuan istimewa. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari bagi ia dan cucunya, Nenek Mori berburu Anoa. Namun, ia tidak berburu seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Ketika berburu, nenek Mori cukup melantunkan nyanyian khusus dan sesaat kemudian Anoa-anoa yang banyak berkeliaran di pegunungan Latimojong akan jinak datang mendekatinya. Setelah itu Nenek Mori tinggal memilih salah satu diantaranya, dan Anoa yang terpilih dengan pasrah menyerahkan diri tanpa perlawanan sedikit pun.
Nenek Mori dianggap bukan saja bersahabat dengan Anoa ataupun binatang lainnya yang terdapat di pegunungan Latimojong, tapi ia juga dipercaya bersahabat dengan makhluk halus atau makhluk gaib yang terdapat di wilayah tersebut. Demikianlah penggalan singkat kisah tentang asal usul nama puncak Nenemori di pegunungan Latimojong.
Hal penting yang perlu mendapat telaah terlebih dahulu adalah nama “Nene-mori” itu sendiri. Sebutan “Nene” tentunya mudah dimaknai bermakna “nenek” dalam bahasa Indonesia. Sementara itu “Mori” butuh analisa yang cukup panjang untuk mendapat makna yang sesungguhnya.
Sesungguhnya, terdapat banyak toponim dan etnonim yang menggunakan kata “Mori”. Seperti Suku Maori (penduduk asli Selandia Baru), Suku Mori di Sulawesi tengah, Pulau Mori di muara sungai Malili di Luwu Timur, dan Puncak Nene’ Mori yang merupakan puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong setelah puncak Rante Mario.
Untuk memahami makna sesungguhnya dari kata “Mori” salah satu tinjauan yang layak untuk dipertimbangkan adalah kata “Mrena” yang merupakan ucapan selamat pagi dalam bahasa orang Maori (penduduk asli Selandia Baru). “Mrena“, identik dengan bentuk “morning” dalam bahasa Inggris, yang pada situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata “morning” adalah: “morn” yang mendapat suffix -ing. Dari Tinjauan ini dapat diduga jika kata “mori” kemungkinan bermakna “pagi”.
2 Komentar
Pingback: Petunjuk Menemukan Tanah Suci “Shambala” – Fadlybahari
Pingback: Ini Asal-Usul Nama “Jawa” Menurut Konsep Lokapala (bagian 2) – Fadlybahari