Riset linguistik yang saya tunjukkan di atas, dapat dikatakan telah memenuhi kaidah ilmiah metode komparatif linguistik, dengan membandingkan sistem fonologi yaitu terutama pada struktur fonetis yang menunjukkan keidentikan, dan sistem morfologi – dimana makna dari leksikon kedua bahasa yang dikomparasi juga menunjukkan keidentikan.
Fakta ini tentunya dapat menjadi dasar untuk mempertimbangkan keberadaan bahasa sebagai artefak sejarah yang sangat otentik.
Hal ini didasari pengejawantahan ungkapan Wilhelm von Humboldt : “…karakter dan struktur suatu bahasa mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari para penuturnya (…) Suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas.”
Penuturan Humboldt bahwa “suara-suara tidak menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya..” jelas dapat diartikan bahwa dalam bahasa tersimpan berita-berita tentang masa lalu yang tentunya dapat ditelusuri. Dan sejauh ini, penelusuran yang saya lakukan membuktikan hal tersebut benar adanya.
Di sisi lain, saya berpikir bahwa adalah hal yang tidak bijak untuk senantiasa menghadapkan penuntutan fakta sejarah pada keberadaan bukti arkeologis semata-mata… yang kita sangat pahami merupakan wujud materi yang rentan mengalami pengrusakan alami dalam kurun waktu tertentu, lenyap oleh bencana alam, serta bahkan pula rentan dimanipulasi ataupun dihilangkan oleh manusia itu sendiri.
Untuk kasus terakhir, kita dapat melihat contohnya, dilakukan oleh Diego de Landa (12 November, 1524 – 29 April, 1579), seorang uskup Spanyol dari Keuskupan Agung Katolik Roma yang bertugas di Yucatan (merupakan wilayah suku Indian Maya).
Beberapa kalangan sejarawan dunia menggambarkannya sebagai seorang pendeta yang kejam dan fanatik yang memimpin kampanye kekerasan. Tindakannya yang sangat disesalkan hingga hari ini adalah membakar puluhan naskah kuno dan ribuan patung Maya, tindakan yang oleh beberapa sarjana percaya sebagai upaya Diego de Landa untuk menghancurkan budaya Maya. Golongan yang membelanya, mengatakan tindakan itu sebagai tindakan melawan penyembahan berhala.
Diego de Landa diyakin telah mengatakan: “We found a large number of books, and as they contained nothing in which were not to be seen as superstition and lies of the devil, we burned them all, which they (the Maya) regretted to an amazing degree, and which caused them much affliction.”
Demikianlah, Rentetan pemikiran-pemikiran inilah yang mendasari saya untuk mendorong prinsip pemikiran bahwa bahasa adalah artefak sejarah yang sangat otentik, karena riwayat-riwayat masa lalu yang tersimpan dalam bahasa, secara alamiah terproteksi, karena Bahasa adalah organ formatif dari pemikiran yang berarti tersimpan dalam “dimensi mental”.
Ini sejalan dengan ungkapan humboldt : “Language is the formative organ of thought… Thought and language are therefore one and inseparable from each other.” ( Humboldt: “On Language“: On the Diversity of Human Language Construction and its Influence on the Mental Development of the Human Species. Edited by: Michael Losonsky, Translate by: Peter Heath (Cambridge University Press, 1999) hal. 54). Noam Chomsky banyak mengutip pendapat Humboldt terkait hubungan bahasa dan pikiran.
Jadi, mungkin satu-satunya cara menghilangkan riwayat yang tersimpan dalam sebuah bahasa adalah melakukan genosida atau pembunuhan massal penutur bahasa tersebut. Walaupun hal ini tidak sepenuhnya menjamin memberi hasil yang maksimal, karena tidak ada satu pun cara konkrit yang dapat membantu mendeteksi di mana saja keberadaaan individu penutur bahasa yang ditarget… demikianlah, bisa dikatakan, hampir tidak ada jalan untuk menghilangkan riwayat yang tersimpan dalam sebuah bahasa.