Dari catatan kuno, bangsa Sumeria diketahui memiliki tanah suci di Timur (Eden in the East) yang disebut “Dilmun” (Telmun atau Tilmun), tempat di mana matahari terbit, dan tempat di mana pahlawan mereka, Ziusudra, dikatakan hidup abadi.
Dalam Eridu Genesis (kisah mitos penciptaan milik bangsa Sumeria), tanah suci yang jauh di timur itu disebut sebagai “Gunung Dilmun”.
Negeri Dilmun juga adalah negeri yang sebenarnya dengan siapa Sumeria berdagang sepanjang sejarah mereka. Pada prasasti raja Ur-Nanshe dari Lagash (c. 2300 SM) yang dianggap sebagai salah satu prasasti paling awal yang menyebutkan Dilmun misalnya, terdapat kalimat “”Kapal-kapal Dilmun membawakannya kayu sebagai upeti dari negeri asing.”
Penentuan Letak Dilmun
David Frawley mengatakan, beberapa arkeolog telah mengidentifikasi Dilmun dengan pulau Bahrain. Namun pulau ini terlalu kecil dan terlalu dekat dengan Sumeria untuk menjadi mitos surga. Arkeolog lainnya, seperti Samuel Noah Kramer mengidentifikasi Dilmun dengan India.
Terkait Dilmun, Samuel Noah Kramer dalam bukunya In the World of Sumer: An Autobiography, mengungkap beberapa hal sebagai berikut:
Mayoritas ilmuwan mengidentifikasi Dilmun dengan pulau Bahrain di Teluk Persia, dan selama lebih dari dua dekade ekspedisi Denmark telah melakukan penggalian di pulau itu dengan harapan mengungkap sisa-sisa peradaban Sumeria yang besar di sana, tetapi sejauh ini sia-sia.
Kelompok ilmuwan lain telah mendefinisikan Dilmun sebagai tanah yang berbatasan di pantai timur Teluk Persia, membentang dari suatu tempat di selatan Elam kuno ke sekitar Selat Ormuz.
Itu untuk lokalisasi terakhir Dilmun yang saya bantah sekitar tiga puluh tahun yang lalu dalam sebuah penelitian yang berjudul “Dilmun and the Land of the Living,” karena menurut saya deskripsi Dilmun dalam kisah Banjir sebagai “tempat di mana matahari terbit” menunjukkan dengan jelas bahwa itu harus dicari tidak hanya timur Sumeria, tetapi juga bukan selatan sejauh pulau Bahrein terletak.
Dalam beberapa tahun terakhir, bahan inskripsi baru telah tersedia yang menunjukkan bahwa apa pun batas baratnya, Dilmun meluas lebih jauh ke timur dan termasuk bagian-bagian Iran, Pakistan, dan India yang menumbuhkan peradaban Indus yang luar biasa.
Salah satu bukti baru adalah dokumen berhuruf paku yang ditemukan di Ur, ibukota Sumeria sepanjang sebagian besar paruh kedua milenium ketiga SM, yang digali lebih dari tiga dekade lalu, tetapi untuk suatu alasan tetap tidak diterbitkan dan tidak tersedia bagi para sarjana sampai beberapa tahun terakhir.
Dokumen baru ini bersifat sastra; sebenarnya itu adalah bagian kecil dari apa yang merupakan tablet enam-kolom yang ditulis dengan versi mitos Dilmun yang berbeda sampai batas tertentu dari tablet Nippur.
Dokumen Ur menyisipkan bagian penting yang tidak ditemukan dalam versi Nippur. Dalam sebuah pemberkatan yang mencantumkan berbagai negeri, Enki (Dewa Sumeria) memasukkan tanah Dilmun diantaranya. Dokumen tersebut setidaknya menyiratkan bahwa Mesopotamia memikirkan Dilmun sebagai tanah maritim yang diberkati, makmur, dan sejahtera, yang mendistribusikan barang-barang ke berbagai wilayah di dunia dengan kapal.
Sekitar selusin dokumen administrasi telah ditemukan dalam eskavasi, yang bercerita tentang pedagang pelaut Ur yang membawa kembali barang dari Dilmun seperti emas, tembaga dan peralatan yang terbuat dari tembaga, lapis lazuli, “mata ikan” (mungkin mutiara), manik-manik batu semi mulia, gading dan benda-benda yang terbuat gading atau dihiasi dengannya, seperti sisir, pektoral, kotak, patung, dan potongan-potongan furnitur.
Sekarang fakta bahwa artefak gading yang didatangkan dari Dilmun adalah hal fundamental dan penting untuk lokalisasi Dilmun dan identifikasinya dengan tanah Indus kuno, karena ini adalah satu-satunya tanah maritim besar dan kaya yang terletak di sebelah timur Sumeria yang bisa digambarkan oleh penyair Sumeria sebagai “tempat matahari terbit.”
Demikianlah, beberapa pembahasan para ahli mengenai keterkaitan Sumeria dan Dilmun sebagai negeri mitosnya.
Jika kita mencermati posisi Dilmun yang disebut sebagai surga di Timur, lalu di sisi lain disebut sebagai “tempat matahari terbit” maka, Nusantara sangat mewakili keduanya.
Mengenai opsi lain, yang mengidentifikasi Dilmun letaknya di Bahrain bisa jadi disebabkan oleh karena Bahrain sendiri merupakan koloni dari orang-orang yang bermigrasi dari Nusantara pada awalnya yang, dalam uraian David Frawley lebih memilih menyebut hal itu sebagai “bukti adanya penyebaran India kuno ke Timur Tengah.” Tapi bagaimana pun juga, penting untuk dipahami bahwa di masa lalu, sebelum disebut sebagai Indonesia, kepulauan Nusantara disebut sebagai “Kepulauan India Timur” atau East Indian Archipelago dalam bahasa orang Eropa.
Mengenai keterkaitan Bahrain dan Nusantara
Pendapat umum tentang etimologi Bahrain mengatakan bahwa: Bahrayn adalah bentuk ganda dari bahasa Arab bahr (“laut”), jadi al-Bahrayn berarti “dua lautan”.
Ahli tata bahasa abad pertengahan al-Jawahari mengomentari perkataan ini bahwa istilah Bahr yang secara formal lebih tepat (lit. “milik laut”) telah disalahpahami dan tidak digunakan. (Faroughy, Abbas. The Bahrein Islands (750–1951): A Contribution to the Study of Power Politics in the Persian Gulf. 1951).
Pada masa lalu, Bahrain dikenal sebagai “Awal”. Nama kuno Bahrain ini, oleh beberapa kalangan dianggap berasal dari nama dewa yang disembah oleh penduduk pulau sebelum munculnya Islam. “Awal” Menyerupai kepala Lembu.