Bahasa Sansekerta Senja

1 Shares
Reading Time: 5 minutes

Bahasa Sansekerta Senja adalah sandhyA सन्ध्या (saat matahari baru terbenam/ temaram). Ini adalah kasus morfologi fonetis: ‘san-dhyA‘ menjadi ‘sen-ja’.

Bentuk kata Senja dalam bahasa sansekerta yaitu sandhyA inilah yang juga bermorfologi menjadi kata ‘sandi’ dalam bahasa Indonesia.



Dipilihnya kata sandhyA untuk terminologi Sandhy bhasa (dalam sansekerta) atau ‘bahasa sandi’ (dalam bahasa Indonesia – yang diterjemahkan menjadi ‘Twilight language‘ dalam bahasa Inggris – didasari pandangan bahwa makna esensi yang dikandung Sandhybhasa yaitu seperti penglihatan samar-samar yang kita alami dalam situasi temaram senja (sore).

Demikianlah, jika dalam bahasa Inggris Sandhybhasa diterjemahkan menjadi ‘Twilight language‘ maka dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “bahasa Sandi”. Seperti kita ketahui, ‘bahasa sandi’ adalah bahasa yang tidak kita ketahui secara jelas makna sebenarnya.

Jadi, dari kata sandhyA (dalam bahasa sansekerta) kita mendapat dua kata dalam bahasa Indonesia, yaitu: Senja dan Sandi.

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

Dalam ilmu bahasa, Terminologi ‘Twilight language‘ atau ‘Sandhybhasa‘ dikenal dengan istilah bahasa polisemik (kata atau frasa yang memiliki banyak makna), bisa dikatakan merupakan wujud pengaplikasian gaya metafora untuk menyamarkan pesan-pesan sakral.

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap peristiwa, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci oleh mereka. Suatu wahyu juga termasuk dalam hal ini.

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar, sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Aristoteles dalam The Poetics mengatakan bahwa metafora adalah pemberian hal (dalam) sebuah nama yang merupakan milik sesuatu yang lain. Dalam perspektif yang lain, kita dapat mengartikan metafora sebagai instrumen komunikasi yang bersifat simbolik, dimana makna yang dimiliki simbol tersebut dapat dimanfaatkan dalam upaya memahami hal-hal tersirat yang terekam dalam suatu pesan.

Hermeneutika sebagai metode yang digunakan untuk menafsirkan makna-makna simbolik dalam bahasa metafora, berasal dari nama Hermes (dewa dalam mitologi Yunani kuno), dianggap sebagai penyampai pesan langit kepada manusia di bumi.



Hermes sering digambarkan sebagai makhluk seperti manusia dengan kaki bersayap. Prof. Abdul Hadi W.M. dalam buku Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (2014) menginterpretasi penggambaran Hermes tersebut sebagai wujud ilustrasi “pesan-pesan simbolik” (perlambangan pesan ) dari Hermes, yang berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk melakukan penerbangan menuju kebenaran yang tempatnya berada di alam metafisik.

Menurut Prof. Abdul Hadi (2014: 26), untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik, Hermes dituntut menguasai pesan dari dewa, maksud, dan tujuan dari pesan itu, dan untuk keperluan apa pesan itu disampaikan, serta dalam situasi apa.

Agar dapat menyampaikan pesan dewa dengan baik, Hermes harus menguasai [pula] bahasa manusia dan mampu mengurai pesan yang harus disampaikan secara artikulatif melalui bahasa yang dikuasainya. 

Terkait hal inilah, maka, penting bagi seorang ahli hermeneutika dalam memperhatikan aspek kesejarahan dan kebahasaan dari teks atau wacana yang ditafsirkan.

Lebih jauh menurut Prof. Abdul Hadi, dalam pengertian ini, bahasa memiliki kedudukan penting sebagai media penyampai pesan atau makna. Isi makna itu ialah “kebenaran” yang berasal dari alam ketuhanan. Bahasa juga merupakan simbol dan seperti sebuah simbol, ia merupakan tangga naik mencapai sesuatu yang bersifat keruhanian. 

Aspek keruhanian ini bisa dikatakan sejalan dengan kutipan Plato dalam Timaeus, bahwa, Hermeneutika dikaitkan dengan peran seseorang yang memiliki wewenang atas suatu kebenaran, yang tidak lain ialah para nabi atau utusan Tuhan yang berperan sebagai penghubung Tuhan dengan manusia.



1 Shares