Pelras dan Serangan Brutalnya pada Kesejarahan Bugis dan Perahu Phinisi

1 Shares
Reading Time: 7 minutes

Kerjasama itu berhasil. Namun, pada akhirnya, ketika masa Nabi Sulaiman berakhir dan hubungan kerjasama pelayaran tidak lagi berlangsung dengan orang-orang Phoenicia, maka berakhir pula-lah sejarah pelayaran bangsa Ibrani.

Antropolog Gene Ammarell (direktur Southeast Asia Studies di Ohio University) dalam bukunya “Navigasi Bugis” mengatakan bahwa: tradisi melaut orang Bugis mungkin yang terbesar di dunia, aktor utama diaspora Austronesia. Gene Ammarell juga mengatakan bahwa capaian navigasi tersebut merentang setidaknya sejak 5 milenium lalu dan melingkupi dua per tiga bumi, sebelum perahu-perahu Eropa berlayar melampaui Samudera Atlantik. [Gene Ammarell, Navigasi Bugis, Makassar, Ininnawa, 2014; 2016, hlm. xiii]

Tidak ketinggalan Yuval Noah Harari mengungkap pula hal yang senada dalam buku “sapiens“: 



Teori yang paling masuk akal mengajukan bahwa sekitar 45.000 tahun lalu, Sapiens yang hidup di Nusantara (sekelompok pulau yang terpisah dari Asia dan dari satu sama lain hanya oleh selat-selat sempit) mengembangkan masyarakat-masyarakat pelaut pertama. Mereka belajar bagaimana membangun dan mengendalikan perahu untuk mengarungi laut lalu menjadi nelayan, saudagar, dan penjelajah jarak jauh. [Yuval Noah Harari. Sapiens, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2017: hlm. 77]

Saya cenderung melihat bahwa apa yang diungkap Pelras tersebut di atas ada kemiripan dengan kasus Kontroversial terkait situs arkeologi Sriwijaya yang terjadi di tahun 1974 hingga beberapa tahun kemudian, yang diulas Pierre-Yves Manguin dalam tulisannya “Palembang dan Sriwijaya, Hipotesis Lama Penelitian Baru”  yang terlampir dalam buku Kedatuan Sriwijaya -Seri Terjemahan Arkeologi No. 11- bahwa terjadi apa yang disebut Pierre-Yves Manguin sebagai “serangan yang paling parah”- yang datang dari sisi arkeologi lapangan pada tahun 1974. 

Berikut kutipannya:

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

“Sebuah kerjasama gabungan antara University of Pennsylvania Museum dan Dinas Purbakala Indonesia, setelah tiga bulan penggalian di Palembang dan sekitarnya, membawa Bennet Bronson, kepala tim Amerika, pada kesimpulan-kesimpulan radikal atas persoalan itu, yang kemudian disebarkan secara luas: dalam hal apa pun, situs-situs Palembang tidak membuktikan keberadaan situs kota yang penting sebelum abad XIV atau abad XV; seluruh arca dan prasasti dari millennium pertama Masehi yang datang dari situs-situs tersebut hanyalah hasil “peletakan kembali” secara sistematis dan besar-besaran oleh sebuah Negara yang berdiri di kemudian hari dan yang berkeinginan untuk memperkuat kekuasaannya sendiri atas kawasan ini dengan memakai atribut-atribut dari luar kekuasaannya…” [Pierre-Yves Manguin. “Palembang dan Sriwijaya, Hipotesis Lama, Penelitian Baru (Palembang Barat)” dalam buku “Kedatuan Sriwijaya – Seri Terjemahan Arkeologi No. 11”,  hlm. 202]

Dari sudut pandang tertentu, Statement semacam ini tentu saja bisa dilihat sebagai sesuatu hal yang sangat merugikan bagi catatan kesejarahan suatu bangsa. 

Beruntung bagi Palembang/ Sriwijaya bahwa segera pada tahun 1979 ada tim yang ke Palembang untuk melakukan survey yang dikepalai Satyawati Suleiman dan O. W. Wolters, yang berhasil menetralisir keadaan tersebut.

Namun apa pun itu, dugaan terbaik yang bisa saya munculkan Terkait uraian Pelras di atas, adalah bahwa mungkin pernyataan itu didasari oleh pemahaman kelirunya yang membedakan antara orang Bugis dan orang Bajo, bahwa keahlian pelayaran adalah milik orang Bajo, sedangkan orang Bugis hanyalah seorang petani saja. 

Mengenai kesamaan orang Bugis dan orang Bajo, serta seperti apa eksistensi mereka dalam pelayaran dan perniagaan di masa kuno, silakan baca pembahasannya dalam artikel ini: Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno

1 Shares