Sebagian dari pembaca mungkin sudah mengetahui apa itu Aksara Syllable. Ya, ini sistem penulisan yang urutan konsonan-vokal ditulis sebagai satu unit: setiap unit didasarkan pada huruf konsonan, sementara notasi vokal adalah sekunder. Ini berbeda dengan sistem alfabet, di mana vokal memiliki status yang sama dengan konsonan.
Etimologi Syllable berasal dari Anglo-French – “silabel” Perancis Kuno – “silaba” Latin – dan dari Yunani “syllavy” yang bermakna “diambil bersama” atau arti harafiahnya “disatukan”. Dalam bahasa tae’ (di Sulawesi selatan) terdapat kata silapi’ yang artinya “saling berlapis” atau “saling melapisi”.
Tentu saja kata silapi’ dalam bahasa tae ini terlihat sangat memiliki kesamaan dengan kata “syllavy” dari bahasa Yunani. Untuk fenomena kesamaan leksikon bahasa Yunani dan bahasa tae’ di Sulawesi selatan saya telah membahas dalam artikel “Menelusuri Jejak Kuno Aksara di Nusantara”
Etimologi kata Aksara yaitu dari kata Sanskrit “aKSara” : a = tidak; KSara = binasa, hancur, mencair / luntur. Jadi, Aksara bisa dimaknai sebagai: “tidak dapat binasa, tidak dapat dihancurkan, tidak mencair / luntur”.
Dalam bahasa tae’ (bahasa tradisional di Sulawesi selatan) sara’ atau sarak berarti “pisah”. Biasanya diucapakan dalam bentuk ti-sara’ atau ti-sarak yang artinya: terpisah. Imbuhan ti dalam bahasa tae’ sama dengan imbuhan ter dalam bahasa Indonesia. Kata tisarak dalam bahasa tae saya pikir sama saja dengan kata terserak / berserak dalam bahasa Indonesia.
Hal menarik lainnya dari aksara Syllable adalah susunan umum pengelompokan unitnya telah disesuaikan dengan konsep fonetik artikulatoris. Inilah yang secara intuitif saya lihat sebagai suatu pesan yang dititipkan orang-orang terdahulu kepada kita generasi sekarang.
Suatu “pesan yang tak dijelaskan” fungsinya secara eksplisit, menunggu kita untuk mencermatinya. Ini akan kita ketahui fungsinya setelah kita sadari bahwa morfologi atau perubahan bentuk fonetis suatu kata umumnya terjadi diantara fonetis yang ada di dalam kelompok fonetik artikulatoris yang sama. (lihat pada gambar di bawah).

Walaupun tidak sepenuhnya tepat, tapi susunan umum aksara Syllable seperti aksara Lontara Bugis telah menunjukkan pola pembagian menurut artikulatoris.
Jika dibandingkan dengan pengelompokan yang pada umumnya, seperti dalam artikel Gerard Huet “Heritage du Sanskrit Dictionnaire sanskrit-francais”, maka terlihat sedikit ada perbedaan.
ka – ga – nga – ngka (guttural)
pa – ba – ma – mpa (labial)
ta – da – na – nra (dental)
ca – ja – nya – nca (palatal)
ya – ra – la – wa (semivowel)
sa – a – ha (Sibilant)
Para ahli umumnya memasukkan fonetik s kedalam kelompok sibilant (fonetik desis), tapi saya melihatnya Approximant (hampir/ mendekati bunyi) ke kelompok palatal. Contoh perubahan fonetik di lapangan pun memperlihatkan hal itu. Contoh: azab – ajab – asab.
Lalu, mengenai pengelompokan semivowel: ya – ra – la – wa dalam artikel Gerard Huet, memang sudah benar, tapi bahwa ya Approximant ke palatal, ra Approximant ke dental, la Approximant ke dental, dan wa Approximant ke labial, saya pikir juga merupakan pendapat yang sudah benar.
Saya melihat bahwa sebagian besar perubahan fonetik umumnya terjadi di antara fonem yang terdapat dalam satu kelompok yang sama. Dan inilah salah satu metode yang saya gunakan dalam mencermati morfologi bahasa. Adapun penggunaan metode ini, dapat saya beri contoh sebagai berikut…
2 Comments on “Aksara Syllable: Formula Kunci Mengurai Sejarah”
Comments are closed.