Suatu hikmah atau kebijaksanaan (dari Allah), seringkali tidak nampak secara lahiriah. Butuh pendalaman untuk dapat memaknainya.
Bahkan kadang, ada hikmah yang memang hanya butuh kesabaran kita untuk menunggu. Hingga pada momentum yang tepat hikmah itu mengemuka dengan sendirinya.
Sikap yang terlalu reaktif hanya akan mengacaukan proses. Dalam hal ini, kesabaran adalah kunci utama. Dan satu hal penting tentang kesabaran adalah bahwa ia bukan milik orang yang merasa paling benar dan paling tahu.
Orang yang merasa paling benar dan paling tahu sangat gampang memberi penilaian. Mudah memberi pendapat menurut pandangannya. Inilah bentuk sikap reaktif yang saya maksud – sikap yang pada dasarnya mengacaukan kepekaan bathin.
Yang mencemaskan, pada masa ini, sangat banyak orang yang merasa paling benar dan paling tahu. Sama banyaknya dengan orang-orang yang mengutamakan penampilan lahiriah yang nampak bermoral dan agamais. Mereka-mereka inilah yang sedang meramaikan zaman ini.
Yang menarik, kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir pada dasarnya juga diwarnai dengan sikap reaktif dari Nabi Musa, meskipun jelas-jelas ketika ia memohon agar dibolehkan ikut dan belajar pada Nabi Khidir, Nabi Khidir telah mengingatkannya agar selama ia mengikutinya, ia tidak menanyakan tentang sesuatu apa pun.
Agar lebih jelas, berikut ini terjemahan surah Al-Kahfi ayat 60-82 yang meriwayatkan pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir:
[18:60] Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”
[18:61] Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
[18:62] Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
[18:63] Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
[18:64] Dia (Musa) berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
[18:65] Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.
[18:66] Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
[18:67] Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.
[18:68] Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
[18:69] Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”
[18:70] Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”
[18:71] Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?” Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.
[18:72] Dia berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”
[18:73] Dia (Musa) berkata, “Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.”
[18:74] Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”
[18:75] Dia berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”
[18:76] Dia (Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku.”
[18:77] Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”
[18:78] Dia berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya.
[18:79] Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.
[18:80] Dan adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.
[18:81] Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).
[18:82] Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”
Pertanyaannya, mengapa sampai Nabi Musa tidak bisa menahan diri? Bahkan terhitung sampai tiga kali ia memberi tanggapan terhadap tindakan Nabi Khidir (dua pertanyaan, satu pernyataan).
Tidak bisa dipungkiri, sikap Nabi Musa yang sampai tiga kali memberi tanggapan pada tindakan Nabi Khidir yang tidak sejalan dengan pendapatnya, menunjukkan bahwa ada kecenderungan ia adalah seorang aktivis yang kritis.
Setidaknya potensi itu telah berhasil ia buktikan dalam perjuangannya melawan Firaun di Mesir dalam membebaskan Bani Israel dari perbudakan yang telah berlangsung sekitar 400 tahun.
Bisa jadi kesuksesan perjuangan Nabi Musa dan Bani Israel saat itu, adalah kesuksesan pertama kali pergerakan kaum marginal melawan tirani dalam sejarah manusia.
Menariknya, konon, Nabi Musa biarpun memiliki kemampuan memimpin, tapi salah satu kekurangannya adalah ia tidak terlalu mahir berdebat. Karena itu, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Al Quran surat Al Qasas ayat 34, ia memohon agar Harun (kakaknya), dapat ikut bersamanya.
Berikut bunyi surat tersebut: “Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku.”
Contoh lain mengapa Nabi Musa dapat dilihat sebagai sosok Nabi yang kritis, dapat pula kita simak pada kisah Isra mi’raj, ketika Nabi Musa bertemu dengan Nabi Muhammad.
Saat itu, setelah Nabi Muhammad mendapatkan perintah shalat sebanyak 50 kali sehari semalam, ia lalu bertemu dengan Nabi Musa dalam perjalanan pulang.
Nabi Musa lalu bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”.
Nabi Muhammad menjawab: “50 shalat”.
Nabi Musa lalu menyarankan: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”.
Nabi Muhammad lalu kembali kepada Tuhan untuk memohonkan keringanan shalat bagi ummatnya. Allah memenuhi permintaan itu.
Dalam perjalanan pulang Nabi Muhammad kembali bertemu Nabi Musa, dan mengatakan kepada Nabi Musa: “Allah mengurangi untukku 5 shalat”.
Nabi Musa lalu berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”.
Singkat cerita, Nabi Muhammad akhirnya terus pulang balik menemui Tuhan, sampai pada akhirnya Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu kejelekan”.
Terakhir kali ketika Muhammad bertemu Musa, Musa masih saja menyarankan agar Muhammad kembali menemui Tuhan untuk meminta keringanan. Muhammad lalu berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 234)
Demikianlah, sisi lain dari kisah Isra Mi’raj sesungguhnya memberi kita pandangan sosok Nabi Musa sebagai seorang yang kritis. Ada beberapa orang Nabi yang Muhammad temui ketika Isra Mi’raj, tapi hanya Musa saja yang memberi perhatian mengenai perintah Tuhan kepada Muhammad dan ummatnya.
Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir besar kemungkinan terjadi setelah masa exodus (Keluar dari Mesir), yaitu di dalam masa saat Bani Israel mengembara di padang gurun selama 40 tahun sebelum memasuki tanah Kanaan.
Di sisi lain, diriwayatkan dalam suatu hadist – dari Ubay bin Ka’ab, bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya, pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil, lalu beliau ditanya, ”Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, ”Aku.” Ketika ditanya, ”Adakah orang yang lebih berilmu dari Anda?” Nabi Musa menjawab, ”Tidak ada.”
Lalu, Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya, di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”
Lantas, Nabi Musa pun bertanya, ”Ya Allah, di manakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, ”Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan dalam keranjang. Sekiranya ikan itu hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.”
Demikianlah, Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir terjadi saat Nabi Musa telah menjadi pemimpin Bani Israel. Dan jika merujuk pada bunyi hadist di atas, ada kemungkinan Nabi Musa didominasi rasa penasaran pada Nabi Khidir yang disebut Allah lebih berilmu darinya.
Sebenarnya, ada banyak hikmah di balik pertemuan kedua nabi ini, sayangnya, para ulama pada umumnya tidak mengulasnya secara kritis.
Contohnya, di sebuah media daring yang membahas hal ini, saya membaca pendapat seorang ustadz yang mengatakan bahwa: “Pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yakni tentang akhlak dan tentang ilmu hakikat. Kita harus bersikap sopan dan santun pada ulama dan orang yang lebih tua”.
Coba bayangkan, beliau ada sebut ilmu hakikat sebagai pelajaran berharga dari kisah tersebut, tapi kemudian yang mendapat penjabaran lebih jelas adalah tentang akhlak, yakni pada kalimat kunci: “Kita harus bersikap sopan dan santun pada ulama dan orang yang lebih tua”.
Saya pikir, seorang ahli komunikasi sekalipun akan kesulitan membangun “bridging” antara muatan kisah dan kalimat kunci itu.
Walaupun jika digali secara komprehensif, ujung-ujungnya bisa saja memang memunculkan pentingnya nilai-nilai menjaga akhlak. Dalam artinya lebih sabar dan lebih menghargai – dengan tidak gampang menilai seseorang dari penampilan luar dan tindakannya saja.
Satu hal yang paling menarik dan layak untuk direnungkan dari pertemuan kedua Nabi ini, adalah ungkapan Nabi Khidir pada ayat ke 68 surah Al-Kahfi, yang berbunyi:
“Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
Sesungguhnya pertanyaan ini bersifat universal. Berlaku untuk setiap orang di setiap zaman.
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.
One Comment on “Agar Tidak Menilai Lahiriah Saja, Belajarlah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir”
Comments are closed.