Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong

0 Shares
Reading Time: 8 minutes

Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap kejadian, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci oleh mereka. 

Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar, sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.

Namun, kelebihan gaya bahasa metafora yang demikian itu pulalah yang membuat kita pada hari ini kesulitan dalam memahami informasi dari masa kuno secara komprehensif. Bahkan dalam beberapa kasus, beberapa di antaranya telah divonis “tak layak menjadi sumber rujukan sejarah” oleh beberapa kalangan sejarawan. Dan hal ini telah menjadi topik perdebatan khusus di kalangan sarjana setidaknya dalam beberapa dekade terakhir.



Misalnya Ian Caldwell dalam sebuah tulisannya dengan tegas menyatakan bahwa Sure Galigo tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah bagi rekonstruksi Kedatuan Luwu karena unsur anakronisme pada hampir semua penceritaannya. Penegasannya ini sekaligus merupakan kritik yang dialamatkan pada Pelras yang menjadikan karya sastra seperti I La Galigo sebagai sumber penelitiannya. 

Demikianlah, informasi dari masa kuno (lisan maupun tulisan) yang tersusun dalam bentuk gaya bahasa metafora, oleh kalangan sarjana di masa modern kemudian dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Umumnya dianggap sebagai hasil karya imajinatif, fiksi, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan riset ilmiah terkait kesejarahan.



Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

Memosisikan informasi dari masa kuno sedemikian rupa tentunya adalah hal yang sangat disayangkan. Terlebih lagi jika kita telah memahami bahwa uraian-uraian yang bersifat simbolik yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya adalah pesan-pesan yang spesifik yang jika kita mampu menerjemahkannya secara benar akan menjadi rujukan informasi yang sangat berharga.

Berikut ini, saya menyajikan pengungkapan sosok dan asal usul Dewi Fajar yang melegenda di masa kuno sebagai contoh kasus tentang upaya yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan informasi dari masa kuno yang bersifat simbolik, menggunakan metode perbandingan mitologi (Mythology Comparative), dan perbandingan bahasa (language Comparative).

Dalam tulisan sebelumnya: Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong,  telah saya urai hipotesis bahwa letak pegunungan Latimojong yang tepat berada di garis bujur 120 derajat jika mengacu  pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich, yang memang sejajar dengan maroko, yang di masa lalu akrab dengan sebutan “kerajaan barat”, lalu titik garis bujur 180 derajat berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu, samudera pasifik) menyiratkan kemungkinan sebagai asal usul disebutnya wilayah Nusantara sebagai “negeri sabah” atau “negeri pagi” di masa kuno. Ini disebabkan oleh karena ketika matahari terbit di wilayah ini, pada saat yang sama, di Tuvalu sebagai tempat terawal terbitnya matahari telah menunjukkan pukul jam 10 pagi.



0 Shares