Cahaya manis dari Surya di langit adalah sebagai wajah (anika) agni yang agung. Mata Surya disebutkan beberapa kali, tetapi ia sendiri juga sering disebut mata Mitra dan Varuna atau Agni juga; dan di waktu lain Fajar dikatakan membawa mata para dewa.
Afinitas mata dan matahari ditunjukkan dalam suatu bagian di mana mata orang yang meninggal dipahami akan mengalami perjalanan menuju Surya. Di Atharvaveda ia disebut ‘penguasa mata’ dan dikatakan sebagai satu-satunya mata makhluk yang diciptakan dan untuk melihat melampaui langit, bumi, dan air. Dia jauh-melihat, melihat semua hal, ia adalah penyaksi seluruh dunia, melihat semua makhluk berikut perbuatan baik dan buruk dari manusia.
Dengan dibangkitkan oleh Surya, manusia fokus pada tujuannya serta melakukan tugas mereka. Umum bagi semua manusia, bahwa Surya tampil sebagai penggugah kesadaran mereka. Dia adalah jiwa atau penjaga semua yang bergerak atau stasioner. Dia memiliki kereta kuda yang ditarik oleh satu tunggangan yang disebut etasa, atau dengan jumlah tunggangan yang tidak terbatas, atau oleh tujuh kuda, atau kuda betina yang disebut haritah atau oleh tujuh kuda betina yang cepat.
Jalur matahari disiapkan untuknya oleh varuna atau oleh adityas mitra. pusan adalah utusannya. Fajar menyingkap atau menerbitkan surya serta agni dan pengorbanannya. dia bersinar dari pangkuan fajar. tetapi dari sudut pandang lain, fajar adalah istri surya.
Dari kutipan buku Samuel D. Atkins dan Macdonell di atas, setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dicermati yaitu pada kalimat dalam tulisan Atkins; “…Surya sebagai penghormatan khusus untuk ‘matahari terbit’ dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan ini…” dan pada kalimat dalam tulisan Macdonell; “…ia (Surya) sebagai ‘penguasa mata’ ” – Hal ini mirip dengan konsep mata Ra pada mitologi mesir yang dikenal sebagai dewa Matahari.
Pernyataan bahwa Surya sebagai penghormatan khusus untuk “Matahari terbit” di waktu pagi, tentunya, dapat kita lihat ada keterkaitan dengan nama negeri Saba yang memiliki arti “pagi”. Dalam bahasa arab, sabah berarti “pagi”. kata sabah ini yang bermorfologi menjadi kata ‘subuh‘ dalam bahasa indonesia),
Jadi, negeri saba adalah asal usul wangsa Surya (bangsa Matahari). Negeri di mana para penduduknya “Berjiwa Matahari”. Mereka meng-agungkan matahari – terutama dan terkhusus untuk Matahari terbit.
Seorang teman saya di Facebook yang bertempat tinggal di Singaraja Bali, mengatakan, di bali setiap perande, peranda, atau pedanda (pendetanya orang Bali) memiliki kewajiban “nyurya sewana” di pagi hari memuja matahari yang baru terbit. Bisa dikatakan, fakta ini adalah jejak orisinil untuk mengetahui seperti apa filosofi pemuja matahari di masa kuno. (Baca pembahasan khusus mengenai filosofi bangsa matahari di sini: Filosofi “Bangsa Matahari”)
Mengenai kalimat selanjutnya… yaitu; “simbolisme sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan ini” …kalimat ini mengingatkan saya pada etimologi “guru” dalam tradisi India.
Joel Mlecko menyatakan, istilah sanskrit “guru” memiliki sekelompok makna dengan signifikansi melebihi terjemahan bahasa Inggris; teacher.
“Gu” berarti “ketidaktahuan” dan “Ru” berarti “penghilang.” Sang Guru adalah penghalau ketidaktahuan, segala macam ketidaktahuan. dengan demikian, ada guru yang tidak hanya mengajarkan pengembangan spiritual khusus tetapi juga hal lain, seperti: menari, musik, gulat, dan keterampilan lainnya. (Joel Mlecko. Artikel jurnal: The Guru in Hindu Tradition, Numen Volume 29, Fasc. 1 . Leiden: Brill Academic Publishers, 1982, hlm. 33-61).
Upanishad menjelaskan kata “Guru” sebagai berikut: suku kata ‘Gu‘ mengindikasikan kegelapan, suku kata ‘Ru‘ berarti penghilang. Karena kualitas (kemampuannya) menghilangkan kegelapan, (maka) demikianlah sang Guru dimaknai. (Ayyangar, TR Srinivasa. The Yoga Upanishads. Adyar: The Adyar Library, 1938, hlm. 8)