Negeri Saba (Sabah) atau Negeri Pagi, Identitas Nusantara di Masa Kuno

Reading Time: 6 minutes

Dalam tulisan sebelumnya “Ini Beberapa Catatan Kuno yang Menyebut Nusantara sebagai Negeri Saba” telah saya ungkap beberapa catatan dari masa lalu yang kuat mengindikasikan Nusantara sebagai negeri saba yang ada disebut dalam Al-Kitab maupun Al-Quran.

Pertanyaan yang mestinya timbul kemudian adalah, Jika benar Nusantara adalah negeri Saba, mengapa ia disebut negeri saba? apa alasannya?

Sabah (صباح) kata dalam bahasa Arab yang berarti “Pagi”

Dalam bahasa Indonesia yang kita gunakan pada masa sekarang, “awal hari” kita sebut dalam dua bentuk kata yaitu: Subuh dan pagi.

Kata “subuh” dapat diduga merupakan bentuk morfologi dari kata sabah (صباح) yang dalam bahasa Arab berarti “pagi”.



Demikianlah, Wilayah Nusantara yang kita duga sebagai “Negeri saba (sabah),” akan kita temukan kejelasannya ketika kita memahaminya dengan makna “Negeri Pagi”.

APAKAH ADA TOPONIM LAIN DI NUSANTARA YANG JUGA MENGANDUNG MAKNA “PAGI”? UNTUK MENGUATKAN HIPOTESIS INI? karena jika memang Nusantara adalah negeri saba (sabah) atau negeri pagi, mestinya ada pula toponim lain di nusantara yang juga memiliki makna “pagi” tapi disebut dalam bahasa tradisional yang lain.

Teman-teman, dukung saya dengan subcribe di Channel Youtube ini... itu akan sangat membantu channel Youtube ini untuk terus berkembang. Terima kasih!

JAWABNYA: ADA. berikut ini beberapa toponim atau pun etnonim yang juga bermakna “pagi” yang dapat banyak kita temukan digunakan terutama di wilayah sebelah timur Nusantara.

Mori atau Maori yang berarti “pagi”

Di wilayah timur, tempat bersemayamnya Helios sang Dewa Matahari dalam mitologi Yunani, terdapat banyak toponim dan etnonim yang menggunakan kata “Mori”.

Seperti Suku Maori (penduduk asli Selandia Baru), Suku Mori di Sulawesi tengah, Pulau Mori di muara sunga Malili di Luwu Timur, dan Puncak Nene’ Mori yang merupakan puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong setelah puncak Rante Mario.

pulau mori di sekitar muara sungai Malili, Luwu Timur.

 

Puncak nene’ mori di pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan.

Mungkin pada pikiran Pembaca akan segera timbul pertanyaan lain: apa pula hubungan antara Helios sang Dewa Matahari, Mori, dan Negeri Pagi yang menjadi judul artikel ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin membawa pembaca untuk terlebih dahulu memahami filosofi “Bangsa Matahari” yang mendasari lahirnya mitologi Dewa Matahari, yang dalam kurun waktu ribuan tahun perjalanan peradaban manusia, terus eksis, hadir di peradaban berbagai bangsa dengan sebutan yang berbeda-beda.

Kita patut bersyukur karena pemahaman filosofi yang mendasari spirit peradaban manusia selama ribuan tahun itu dapat kita temukan terekam dalam catatan Himne tertua Veda, yakni pada himne 1.115 Rgveda yang menyebutkan: 

Surya sebagai penghormatan khusus untuk “Matahari Terbit” dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan. 

Untuk diketahui, dalam tradisi Hindu, Surya berkonotasi Dewa Matahari. (Roshen Dalal, Hinduism: An Alphabetical Guide, 2011).

Hal terpenting untuk dicermati dari Rekaman Himne tertua Veda di atas, adalah pada kalimat “sebagai penghormatan khusus untuk Matahari terbit”, karena ini mesti kita cermati bahwa dari kesemua rentang waktu posisi matahari di langit pada siang hari, hal yang paling dikhususkan terletak pada posisi waktu ia terbit, yang dalam perbendaharaan Bahasa kita pada hari ini, kita kenal dengan sebutan “pagi”.