Ketika Adam dan Hawa terusir keluar dari Surga, dalam banyak tradisi agama diriwayatkan bahwa di bumi mereka sempat berpisah selama beberapa tahun (Ada yang menyebut 40 tahun, 300 tahun dan 500 tahun). Setelah Allah perintahkan Adam menjemput Hawa di Jabal Rahmah barulah mereka dapat kembali hidup bersama. Kisah sakral pertemuan mereka di bumi setelah lama berpisah—yang penuh emosi—kemudian diriwayatkan secara simbolik dalam naskah I La Galigo (yaitu dalam adegan pertemuan antara Batara Guru dan We Nyili Timo), dan juga dalam kisah Fuxi dan Nuwa dalam mitologi Cina.
Entah siapa orang di masa kuno yang menyusun pertemuan sakral antara Adam dan Hawa itu, namun, dengan mencermati bahasa-bahasa simbol dalam naskah kuno tersebut, kita dapat menangkap kesan yang sangat jelas bahwa pertemuan itu penuh diwarnai emosi.
Deretan kalimat-kalimat simbolik itu dengan kuat mengisyaratkan situasi bahwa pada saat pertama kali mereka bertemu kembali setelah berpisah sangat lama, sempat terjadi pertengkaran yang hebat antara keduanya. Saling melempar kesalahan tentang hal yang menyebabkan mereka terusir dari dalam Surga.
Dalam naskah I La Galigo misalnya, penggambaran pertemuan Adam dan Hawa disimbolkan dalam adegan pertemuan Batara Guru dan We Nyili Timo.
Setidaknya ada empat tahapan atau proses yang mesti dilalui Batara Guru (Adam).
Tahap pertama adalah upaya Batara Guru (Adam) untuk mendatangi We Nyili Timo (Hawa) yang selalu menghindar (dalam naskah disebut We Nyili Timo tiga kali menghilang) ketika Batara Guru hampir berhasil menemukannya.
Tahap kedua, ketika Batara Guru (Adam) berhasil menemukan We Nyili Timo (Hawa), di sekitar We Nyili Timo menyala api yang sangat besar dan menakutkan. Ini merupakan simbol kemarahan We Nyili Timo (Hawa) kepada Batara Guru (Adam). Kemarahan ini sangat mungkin terkait dengan situasi sulit yang mesti mereka alami di bumi setelah terusir keluar dari surga. Untuk memadamkan api amarah ini, Batara Guru (Adam) membaca mantera yang merupakan bentuk simbolik dari upaya Adam untuk membujuk Hawa.
Tahap Ketiga, ketika api amarah We Nyili Timo (Hawa) mereda, muncul keanehan berikutnya yaitu tubuh dan rambut We Nyili Timo seluruhnya memutih. Perubahan We Nyili Timo ini merupakan simbol bahwa setelah amarah Hawa mereda ia memucat. Kondisi memucat ini adalah hal yang umum dialami manusia sesaat setelah meluapkan rasa amarah yang berlebihan.
Tahap Keempat, setelah tubuh dan rambut We Nyili Timo tidak lagi memutih, keanehan kembali ditampakkan We Nyili Timo dengan mengubah wujudnya menjadi anak kecil. Bentuk anak kecil ini menggambarkan situasi lebih lanjut dari kondisi emosional Hawa, bahwa setelah marah reda dan kemudian memucat ia kemudian menjadi seperti anak kecil yang ingin dibujuk.
Seluruh perubahan wujud We Nyili Timo (Hawa) dihadapi Batara Guru dengan senantiasa membaca mantera-materanya yang merupakan simbolisasi dari upaya bujukkan Adam kepada Hawa.
Agar pembaca dapat mencermati sendiri ungkapan-ungkapan simbolik dalam naskah I La Galigo dan dalam mitologi Fuxi dan Nuwa (Cina) terkait pertemuan Adam dan Hawa di bumi, di bawah ini saya sertakan bunyi kalimat aslinya…
Batara Guru dan We Nyili Timo
Batara Guru merupakan salah satu tokoh utama dalam kitab I La Galigo yang merupakan naskah berisi cerita mitologi Luwu atau Bugis kuno.
Dalam naskah tersebut diceritakan Batara Guru adalah anak dari Puang Patotoe (Dewata pencipta yang bersemayam di langit, dengan Istrinya, Datu Palinge).
Oleh Puang Patotoe, Batara Guru diperintahkan turun dan memerintah dunia tengah (bumi) yang masih kosong gelap gulita.
Di dunia tengah, Batara Guru dinikahkan dengan We Nyili Timo putri dari penguasa dunia bawah (Guru Ri Selleng dan Istrinya Sinaungtoja yang merupakan adik kembar Sang Pencipta).
Berikut ini penggalan kisah Batara Guru/ We Nyili Timo saat pertama kali dipertemukan di dunia tengah, diceritakan di dalam buku I La Galigo terjemahan R.A Kern (R. A. Kern. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989 Hlm. 31-32)
“…kenaikan We Nyili’Timo terkatung-katung di atas ombak di depan Batara Guru. Seorang inang pengasuh mendesaknya agar ia sendiri berenang ke padanya, akan tetapi apabila hal itu dilakukan oleh Batara Guru, kenaikan We Nyili Timo bagaikan diterbangkan pergi oleh angin; dengan terperanjat dan bingung Batara Guru kembali ke pantai. Ia memandang berkeliling, dilihatnya mempelainya di sebelah timur; ia berenang pula kepadanya, tiga kali We Nyili Timo selalu menghilang.
Ketika Batara Guru kembali ke pantai, ia berganti pakaian; yang dipakainya kini ialah pusakanya dari Sang Pencipta. Diambilnya sekapur sirih dari dalam cenrananya, lalu diucapkannya suatu mantera. Seketika laut menjadi kering, lalu pergilah ia sendirian mendapatkan We Nyili Timo ke tempatnya bersemayam.
Akan tetapi sang putri menguraikan rambutnya yang panjang, lalu mengucapkan sebuah mantera. Maka seolah-olah kenaikannya ada yang menariknya pergi lalu tenggelam, orang tidak melihatnya lagi; akan tetapi dalam pada itu lautan pun bagaikan menyala dan We Nyili Timo seolah-olah seorang anak dewata yang turun ke bumi dalam usungannya.
Orang-orang ware gemetar melihat api langit sedang mengamuk di tengah lautan. Batara Guru balik lagi dan menanti, dicampakkannya ikat kepalanya (yang berasal dari langit) ke dalam laut sambil mengucapkan suatu mantera hingga tiga kali. Api pun padamlah.
Dengan suatu mantera We Nyili Timo menjadikan air naik kembali. Batara Guru berenang kepadanya, lalu duduk disampingnya. Kembali ia tak kelihatan pula, akan tetapi oleh mantera Batara Guru ia turun lagi seluruhnya dalam busana putih, rambutnya pun putih.
Sang manurung bungkam keheran-heranan, akan tetapi dia ucapkan jua suatu mantera, sehingga wajah sang puteri berubah, kini bersinar penuh kecantikan, duduk disampingnya. Dengan suatu mantera yang baru We Nyili Timo mengubah dirinya menjadi seorang anak kecil. Batara Guru dari pihaknya membuka ikat rambutnya dan mengucapkan suatu mantera; We Nyili Timo pun menjadi cantik kembali.
Fuxi dan Nuwa
Dalam teks klasik tiongkok “The Classic of Mountains and Seas” atau “Shan Hai Jing“, dikenal sosok Fuxi, juga diromanisasi sebagai Fu-hsi, sebagai pahlawan budaya dalam legenda dan mitologi Cina, yang dikreditkan bersama dengan saudara perempuannya Nuwa.
Bait berikut ini yang terdapat pada salah satu kolom Kuil Fuxi di Provinsi Gansu, menjelaskan pentingnya Fuxi: “Di antara tiga primitifitor peradaban Huaxia , Fu Xi di Negara Huaiyang menempati urutan pertama.”(Ji Xiaoping. Worshiping the Three Sage Kings and Five Virtuous Emperors The Imperial Temple of Emperors of Successive Dynasties in Beijing : 2007)
Baca artikel terkait: Adam Terusir Dari Surga: Jumat, Jam 3:12 Asar